Transportasi Jakarta Demi Kenyamanan Publik dengan Metode AHP (Analytic Hierarchy Process)
A. LATAR BELAKANG
Masalah transportasi di Jakarta adalah masalah yang sangat pelik. Sebagai pengguna kendaraan umum di Jakarta sejak tahun 1983, hanya rasa tak nyaman dan penat yang bisa saya temui sehari-hari. Faktor kemacetan dan cuaca panas berdebu bercampur menjadi satu dengan interior bus yang tak pernah bersih dari sampah dan pengamen. Semua ini membuat rasa tak nyaman itu kian menumpuk.
Pemerintah, dalam hal ini pusat dan daerah, melakukan beberapa upaya untuk memperbaiki situasi ini. Salah satunya adalah paket transportasi makro yang mulai dijalankan beberapa tahun terakhir ini. Proyek pembenahan transportasi makro ini diberi nama Jakarta Metro System (JMS) dengan membangun sistem angkutan massal atau mass rapid transportation akhirnya diserahkan kepada konsorsium yang terdiri atas 10 badan usaha milik negara dan lima perusahaan swasta.
Presiden Megawati Soekarnoputri meresmikan pemancangan tiang pertama pembangunan konstruksi kereta rel tunggal (monorel) di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat, Senin 14 Juni 2004[i].
Pemancangan tiang monorel ini, sebagai bagian dari rencana atau pola transportasi makro di DKI Jakata dirancang bersamaan dengan busway (15 koridor), dan subway (Fatmawati-Kota) yang terdiri dari dua jalur masing-masing jalur hijau (greenline) dan jalur biru (blueline). Jalur bus khusus (busway) telah beroperasi di 3 koridor (Blok M-Kota, Harmoni-Kalideres, dan Harmoni-Pulogadung).
1. Monorel
Monorel adalah kereta ringan dengan rel satu. Mungkin karena penampilannya yang ramping, pemerintah provinsi memilih mode transportasi (transporation mode) ini. Jaraknya hanya seputar daerah bisnis segitiga emas Jakarta. Namun, telah dua tahun setelah pemancangan tiang pertama oleh Presiden (waktu itu) Megawati berlangsung, jalur monorel yang dimaksud belum juga selesai dibangun. Kendala utama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah dana. “Biaya investasi monorel mencapai US$ 650 juta. Padahal, panjangnya hanya sekitar 27,8 kilometer,” kata anggota dewan transportasi, Andi Rahmah, usai bertemu gubernur DKI Jakarta di Balaikota Jakarta, 1 April 2005[ii].
Di luar biaya yang tinggi ini, anggota dewan transportasi, Andi Rahmah mempertanyakan alasan monorel yang bisa mengurangi kemacetan. Menurutnya, orang yang berkendaraan pribadi belum tentu mau naik monorel jika jarak yang mereka tempuh sangat pendek, dan itu tidak akan mengurangi kemacetan.
2. Subway dengan Kereta 2 Rel
Subway mempunyai jalur sepanjang 15,4 kilometer itu memiliki rute Lebak Bulus-Fatmawati-Senayan-Dukuh Atas-Bundaran Hotel Indonesia, yang terdiri atas jalur bawah tanah (subway) sekitar 30 persen dan jalur layang (elevated lines) 70 persen. Agak lucu memberi nama subway jika proyek ini mempunyai persentase lebih banyak untuk jalur layang dibanding terowongan.
Kereta dengan dua rel (yang juga bisa dipakai di rel kereta api yang sudah ada) memang memakan waktu pembangunan agak lama karena harus menggali sekitar lima kilometer terowongan, serta memasang beton jalur layang lebih dari sepuluh kilometer. Selain itu salah satu anggota konsorsium Jakarta Metro System/JMS, Direktur Utama PT Adhi Karya Syaeful Imam, seusai penandatanganan kesepakatan bersama atau memorandum of understanding (MOU), Senin (17/4) di Jakarta, mengatakan, “Perkiraan awal biaya investasi proyek ini sebesar 550 juta dollar AS, terdiri atas biaya konstruksi, biaya kereta ditambah sistem mekanisasi dan kelistrikan, dan biaya lain-lain, tetapi belum termasuk biaya pembebasan tanah,” kata Syaeful.
Menurut Menteri Negara BUMN Sugiharto, setelah penandatanganan MOU, akan dilakukan studi kelayakan, pendanaan, kemudian pembangunan proyek. Pembangunan konstruksi diperkirakan bisa diselesaikan dalam tiga tahun. “Pembentukan konsorsium ini merupakan alternatif untuk menekan biaya investasi dengan memaksimalkan sumber daya lokal. Pencarian dana investasi nantinya bisa dengan cara pemerintah ke pemerintah, swasta dengan swasta, atau kemitraan pemerintah dengan swasta (public private partnership),” kata Sugiharto[iii].
Menurut Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, 17 November 2005[iv], pembangunan subway akan dilakukan oleh pemerintah pusat, cetak birunya sudah ada di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. “Pembangunan fisik bisa dimulai tahun depan dengan dana lunak dari Jepang,” ujarnya. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2006, Pemerintah Provinsi DKI menganggarkan Rp 135 miliar untuk pembangunan subway meliputi manajemen lalu lintas, prakonstruksi, serta pembebasan tiga lahan dan penyempurnaan jalan-jalan alternatif prakonstruksi. Untuk jembatan layang dan jembatan bawah tanah pada 2006 anggarannya Rp 166 miliar.
3. Busway untuk Bus Trans-Jakarta
Yang mungkin lebih feasible dan cepat dibangun di Jakarta adalah busway. Jika diimplementasikan seantero Jakarta, masyarakat pengguna kendaraan pribadi atau kendaraan umum lain tentu harus rela “porsi jalan” diperkecil.
Fasilitas busway dengan merek Trans-Jakarta, sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat terutama karena alasan biaya. Jarak Kalideres (Jakarta Barat) ke Pulogadung (Jakarta Timur) bisa ditempuh dengan biaya hanya Rp 3.500,0,-. Masyarakat hanya perlu turun sekali untuk mengganti jurusan bus di pertemuan Jalan Gajah Mada atau Jalan Haji Juanda (Jakarta Pusat. Waktu tempuh juga relatif lebih singkat, karena bus Trans-Jakarta mempunyai jalur sendiri tanpa diganggu kemacetan berarti (hanya di lampu merah atau pertemuan jalur sempit seperti di depan Mal Taman Anggrek).
Mengingat animo masyarakat ini, pemerintah provinsi DKI Jakarta melanjutkan rencana koridor-koridor busway selanjutnya. Tindakan lain yang diambil adalah pengalihan 12 trayek bus yang rutenya bersinggungan dengan bus khusus (busway koridor 1 Blok M-Kota diubah. Perubahan ini dalam rangka meningkatkan fungsi feeder (bus pengumpan) pada jalur busway tersebut. Perubahan Rabu, 24 Agustus 2005 dimulai pada pukul 05.30 WIB. Pengguna jalan umum sempat “tersiksa” karena macet akibat pembangunan jalur khusus. Selain itu, masyarakat pengguna kendaraan umum juga harus rela melepas bus lain yang jalurnya bersinggungan dengan bus Trans-Jakarta.
Untuk empat koridor busway Pemerintah DKI juga menganggarkan Rp 876,7 miliar, dengan tambahan biaya pembangunan bidang sarana dan prasarana kota sebesar Rp 4,58 triliun, antara lain untuk pembelian busway dan sarana penunjangnya koridor IV,V,VI dan VII dan penyelesaian jembatan layang Roxy.
Presentasi DA Rini MSc (Dewan Transportasi Jakarta) di Bogota, 6-9 February 2003
B. Analytic Hierarchy Process atas Pola Tranportasi Makro di Jakarta
Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) memberikan persepsi lain untuk para pengambil keputusan di negeri ini: menstruktur suatu hierarki memang memerlukan pengetahuan yang luas tentang sistem atau masalah bersangkutan[v]. Di antara beberapa fungsi utama yang akan saya angkat dalam menganalisis transportasi makro di Jakarta adalah tiga perspektif yang diangkat Saaty:
- menetapkan prioritas;
- menghasilkan seperangkat alternatif;
- memilih alternatif kebijakan yang terbaik.
Selama ini pemerintah provinsi DKI Jakarta membuat “cetak biru” transportasi publik Jakarta hanya memandang dari sisi “pendanaan” saja. Kenyamanan dan kepentingan masyarakat hanyalah nomor sekian.
Tanpa memikirkan anggaran yang terbatas, saya mengajukan alternatif jika
- Busway diterapkan di seluruh Jakarta, dengan kondisi seperti ini:
- Jalan raya yang ada harus dipotong sebagian untuk busway
- Pemberhentian (bus stop/halte) yang jaraknya pendek-pendek
- Biaya murah (Rp 3500,- untuk sekali jalan tanpa keluar dari halte)
- Tempat duduk terbatas
- Kenyamanan (air conditioner dan satpam)
- Macet saat dibangun
- Monorel diterapkan di seluruh Jakarta; atau
- Pembangunannya akan lama (karena biaya per kilometer lebih besar dari biaya busway atau subway)
- Kecepatan tempuh dan jadwal keberangkatan yang pasti
- Kenyamanan (air conditioner)
- Macet saat dibangun
- Subway (dengan catatan: di bawah tanah sepenuhnya!) diterapkan di seluruh Jakarta, atau
- Pembangunannya lebih lama dari Busway karena harus menggali tanah (tak jelas akan mengganggu jalur pipa air minum atau tidak)
- Trayek di awal hanya bisa dibangun untuk jalur Lebak Bulus – Fatmawati – Senayan – Dukuh Atas – Bundaran Hotel Indonesia
- Keamanan kereta “bawah tanah” belum terpola jelas
- Kemacetan saat pembangunan mungkin bisa diminimalisir (karena metode penggalian bawah tanah)
Secara umum, pemerintah provinsi mempunyai 3 tipe pembangunan infrastruktur dengan segala keuntungan dan kendala internal pemerintah (bukan kendala dan keuntungan masyarakat itu sendiri). Selanjutnya, pemerintah provinsi bisa mendapatkan gambaran prioritas mana bagi pembangunan infrastrukturnya.
Dari semua alasan dengan persepsi awam (non-teknis) di atas, saya, sebagai anggota masyarakat pengguna kendaraan umum di Jakarta, mempunyai 7 alasan untuk menggunakan kendaraan umum di Jakarta.
Transportasi umum yang modern dan nyaman adalah tuntutan masyarakat. Selain itu transportasi juga menjadi tuntutan zaman yang mengharuskan penggunaan waktu seefisien mungkin, dengan tujuan agar masyarakat di Jakarta lebih produktif lagi. Walau belum ada penelitian khusus tentang ini, saya yakin rasa penat dan sumpek selama perjalanan menuju tempat kerja terkait erat dengan rendahnya produktivitas masyarakat di Jakarta. Transportasi yang modern dan nyaman adalah goal yang ingin dituju dari analisis dengan metode AHP ini.
Saya menilai ada 7 aspek penting dalam pembangunan transportasi publik:
- Jadwal pasti (JADWAL),
- Trayek banyak tapi tidak rumit alias masyarakat tak perlu bergonta-ganti kendaraan untuk menuju satu tujuan (TRAYEK),
- Waktu tempuh dari satu tempat ke satu tujuan (TEMPUH),
- Kemacetan yang ditimbulkan saat pembangunan (MACETPB),
- Lamanya pembangunan infrastruktur (LAMAPB),
- Kebersihan dan kenyamanan (NYAMAN); semisal: tak ada sampah, tak ada pengamen/pencopet, atau tersedianya air conditioner untuk melawan udara panas di Jakarta.
- Biaya atau ongkos yang harus dikeluarkan (BIAYA),
Saya kemudian membuat level kedua, yaitu level prioritas:
- Penting,
- Biasa, dan
- Tidak penting,
dengan skala preferensi seperti di bawah ini:
Scale of Preference between Two Elements
(adapted from Crowe et al., 1998; Saaty, 2000; Hafeez et al., 2002)
Preference weights level of importance |
Definition |
Explanation |
1 |
Equally preferred |
Two activities contribute equally to the objective |
3 |
Moderately preferred |
Experience and judgement slightly favour one activity over another |
5 |
Strongly preferred |
Experience and judgement strongly or essentially favour one activity over another |
7 |
Very strongly preferred |
An activity is strongly favoured over another and its dominance demonstrated in practice |
9 |
Extremely preferred |
The evidence favouring one activity over another is of the highest degree possible of affirmation |
2,3,6,8 |
Intermediates values |
Used to represent compromise between the preferences listed above |
Untuk itu saya membuat matriks seperti ini:
|
JADWAL |
TRAYEK |
WAKTU |
MACETPB |
LAMAPB |
NYAMAN |
BIAYA |
JADWAL |
1 |
|
|
|
|
|
|
TRAYEK |
|
1 |
|
|
|
|
|
TEMPUH |
|
|
1 |
|
|
|
|
MACETPB |
|
|
|
1 |
|
|
|
LAMAPB |
|
|
|
|
1 |
|
|
NYAMAN |
|
|
|
|
|
1 |
|
BIAYA |
|
|
|
|
|
|
1 |
Untuk pembanding aspek terhadap 3 macam angkutan modern di Jakarta ini, saya menempatkannya sebagai berikut:
JADWAL |
Bus/Busway |
Kereta/Monorel |
Kereta/Subway |
Bus/Busway |
1 |
5 |
1/3 |
Kereta/Monorel |
1/5 |
1 |
1/7 |
Kereta/Subway |
3 |
7 |
1 |
4,2 |
13 |
1,4 |
JADWAL |
Bus/Busway |
Kereta/Monorel |
Kereta/Subway |
Bus/Busway |
0,238 |
0,384 |
0,214 |
Kereta/Monorel |
0,047 |
0,076 |
0.102 |
Kereta/Subway |
0,714 |
0,538 |
0,714 |
Busway (0,238 + 0,384 + 0,214) : 3 = 0,278
Monorel (0,047 + 0,076 + 0.102) : 3 = 0,075
Subway (0,714 + 0,538 + 0,714) : 3 = 0,655
TRAYEK |
Bus/Busway |
Kereta/Monorel |
Kereta/Subway |
Bus/Busway |
1 |
9 |
1 |
Kereta/Monorel |
1/9 |
1 |
1/3 |
Kereta/Subway |
1 |
3 |
1 |
2,1 |
13 |
2,3 |
TRAYEK |
Bus/Busway |
Kereta/Monorel |
Kereta/Subway |
Bus/Busway |
0,476 |
0,692 |
0,434 |
Kereta/Monorel |
0,052 |
0,076 |
0,130 |
Kereta/Subway |
0,476 |
0,230 |
0,434 |
Busway (0,476 + 0,692 + 0,434) : 3 = 0,534
Monorel 0,052 + 0,076 + 0,130) : 3 = 0,086
Subway (0,476 + 0,230 + 0,434) : 3 = 0,380
TEMPUH |
Bus/Busway |
Kereta/Monorel |
Kereta/Subway |
Bus/Busway |
1 |
7 |
9 |
Kereta/Monorel |
1/7 |
1 |
1/3 |
Kereta/Subway |
1/9 |
3 |
1 |
1,25 |
11 |
10,3 |
TEMPUH |
Bus/Busway |
Kereta/Monorel |
Kereta/Subway |
Bus/Busway |
0,800 |
0,636 |
0,873 |
Kereta/Monorel |
0,114 |
0,090 |
0,032 |
Kereta/Subway |
0,088 |
0,272 |
0,097 |
Busway (0,800 + 0,636 + 0,873) : 3 = 0,769
Monorel (0,114 + 0,090 + 0,032) : 3 = 0,078
Subway (0,088 + 0,272 + 0,097) : 3 = 0,152
MACETPB |
Bus/Busway |
Kereta/Monorel |
Kereta/Subway |
Bus/Busway |
1 |
1 |
9 |
Kereta/Monorel |
1 |
1 |
9 |
Kereta/Subway |
1/9 |
1/9 |
1 |
2,1 |
2,1 |
19 |
MACETPB |
Bus/Busway |
Kereta/Monorel |
Kereta/Subway |
Bus/Busway |
0,476 |
0,476 |
0,473 |
Kereta/Monorel |
0,476 |
0,476 |
0,473 |
Kereta/Subway |
0,052 |
0,052 |
0,052 |
Busway (0,476 + 0,476 + 0,473) : 3 = 0,475
Monorel (0,476 + 0,476 + 0,473) : 3 = 0,475
Subway (0,052 + 0,052 + 0,052) : 3 = 0,052
LAMAPB |
Bus/Busway |
Kereta/Monorel |
Kereta/Subway |
Bus/Busway |
1 |
1/9 |
3 |
Kereta/Monorel |
9 |
1 |
1 |
Kereta/Subway |
1/3 |
1 |
1 |
10,3 |
2,1 |
5 |
LAMAPB |
Bus/Busway |
Kereta/Monorel |
Kereta/Subway |
Bus/Busway |
0,097 |
0,052 |
0,600 |
Kereta/Monorel |
0,873 |
0,476 |
0,200 |
Kereta/Subway |
0,029 |
0,476 |
0,200 |
Busway (0,097 + 0,052 + 0,600) : 3 = 0,249
Monorel (0,873 + 0,476 + 0,200) : 3 = 0,516
Subway (0,029 + 0,476 + 0,200) : 3 = 0,235
NYAMAN |
Bus/Busway |
Kereta/Monorel |
Kereta/Subway |
Bus/Busway |
1 |
1/9 |
1/5 |
Kereta/Monorel |
9 |
1 |
3 |
Kereta/Subway |
5 |
1/3 |
1 |
15 |
1,4 |
4,2 |
NYAMAN |
Bus/Busway |
Kereta/Monorel |
Kereta/Subway |
Bus/Busway |
0,066 |
0,079 |
0,047 |
Kereta/Monorel |
0,600 |
0,714 |
0,714 |
Kereta/Subway |
0,333 |
0,214 |
0,23 |
Busway (0,066 + 0,079 + 0,047) : 3 = 0,064
Monorel (0,600 + 0,714 + 0,714) : 3 = 0,676
Subway (0,333 + 0,214 + 0,238) : 3 = 0,261
BIAYA |
Bus/Busway |
Kereta/Monorel |
Kereta/Subway |
Bus/Busway |
1 |
7 |
1 |
Kereta/Monorel |
1/7 |
1 |
3 |
Kereta/Subway |
1 |
1/3 |
1 |
2,1 |
8,3 |
5 |
BIAYA |
Bus/Busway |
Kereta/Monorel |
Kereta/Subway |
Bus/Busway |
0,476 |
0,843 |
0,200 |
Kereta/Monorel |
0,068 |
0,120 |
0,600 |
Kereta/Subway |
0,476 |
0,036 |
0,200 |
Busway (0,476 + 0,843 + 0,200) : 3 = 0,503
Monorel (0,068 + 0,120 + 0,600) : 3 = 0,262
Subway (0,476 + 0,036 + 0,200) : 3 = 0,237
KESIMPULAN:
Masyarakat awam melihat 3 tipe transportasi (busway, monorel dan subway) dari 7 dimensi dengan prioritas masing-masing sebagai berikut:
Busway (%) |
Monorel (%) |
Subway (%) |
|
Jadwal |
65 |
7 |
28 |
Trayek |
53 |
9 |
38 |
Tempuh |
77 |
8 |
15 |
MacetPb |
47.5 |
47.5 |
5 |
LamaPb |
25 |
51.5 |
23.5 |
Nyaman |
6 |
68 |
26 |
Biaya |
50 |
26 |
24 |
Dari perkiraan ini, saya mengharapkan memang akhirnya busway bisa menjadi satu pemecahan masalah ketidaknyamanan saya, setidaknya untuk saat sekarang hingga lima tahun ke depan.
Jakarta, 6 Juli 2006
[i] Kompas, Senin, 14 Juni 2004.[ii] Tempo Interaktif http://www.tempointeraktif.com, Jumat, 1 April 2005, pukul 16:14 WIB.[iii] Kompas, 18 April 2006.[iv] Tempo Interaktif, Kamis, 17 November 2005, pukul 18:20 WIB.[v] Thomas L. Saaty, Pengambilan Keputusan, Proses Hierarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks, terjemahan tahun 1993, PT Pustaka Binaman Pressindo dan PPM.
ismi
November 11, 2007 at 5:08 pm
wah pake metode AHP itu sepertinya lebih efektif, tapi dari mana angka2 itu di dapat kok tidak dijelaskan.
terima kasih
Mila
November 11, 2007 at 11:20 pm
AHP adalah cikal-bakal penelitian kualitatif. Angka-angka itu “keluar” dari hasil survei (kuesioner) yang berupa sampling random saja. Pertanyaannya harus dijawab dengan “ranking”, bukan “ya/tidak”. Intinya HIERARKI (hierarki sempurna = karena sama pilihannya) dibagi dalam level-level:
LEVEL 1 Tujuan: “membeli mobil” (contoh mudah)
LEVEL 2 Kriteria: a) harga, b) perawatan, c) volume, d) model
LEVEL 3 Alternatif: Merek A B C (kriteria harga), Merek A B C (kriteria perawatan), Merek A B C (kriteria volume), dan Merek A B C (kriteria model).
Untuk setiap kriteria, masukkan total responden yang membuat ranking terhadap setiap merek. Detail memasukkannya ada dalam beberapa langkah, sepertinya tak cukup kita diskusi di medium ini. Sebenarnya tak perlu serumit ini, sudah ada software-nya kok (Expert Choice for Windows). Tinggal memasukkan angka hasil kuesioner, hasil AHP langsung keluar.
Silakan beli buku terbitan PAU EKONOMI UI, judulnya AHP, tulisan THOMAS L SAATY (terjemahan BAMBANG BROJO kalau tak salah). Saya bisa tanyakan ke sana, sepertinya memang tidak dijual di toko buku biasa. Kalau minat, setidaknya Selasa saya baru ke sana. Nanti saya kabari lagi.
intan
November 15, 2007 at 10:48 am
wah apakah pembangunan jalan busway itu malah akan menimbulkan kemacetan yang bertambah di Jakarta, gimana dong solusinya yang baik untuk masyarakat dan juga pemprov sendiri?
Mila
November 15, 2007 at 5:53 pm
Saya bukan ahli tata kota, tapi ini ada beberapa pokok yang merupakan masukan dari kawan yang ahli di bidang ini.
Busway? Macet? Permasalahan yang kompleks, Mbak, walau hanya ditinjau dari satu aspek: tata ruang kota.
1) Jakarta memang punya blueprint tata ruang namun tak terlalu dipatuhi oleh aparat ataupun rakyatnya. Banyak sudah perubahan sejak gubernur Ali Sadikin hingga hari ini, dengan berbagai alasan yang tentunya bisa dipertimbangkan kembali.
2) Moda transportasi untuk kota “megapolitan” yang kepadatan penduduknya sudah setara dengan New York atau Tokyo tentulah moda transportasi yang harus mampu mengangkut “lebih banyak orang” dalam “waktu tunggu/tempuh lebih singkat”. More people, less time consuming. Sehingga tak ada penumpukan orang dalam waktu lama di satu waktu (jam pulang kerja, misalnya).
3) Tata ruang yang amburadul ditambah masalah kependudukan yang rumit membuat Jakarta memang harus “digetok” seperti sekarang: macet untuk pembangunan. Satu cara instan, karena memang paling murah investasinya, dan paling cepat dibangun/dijalankan ketimbang subway atau monorail.
Sayang, walau digetok dan kita semua kena macet, terus terang memang Busway belum cukup, karena daya angkutnya sedikit, dan waktu tempuh dari satu tempat ke tempat lain juga masih lama. Saya kok lebih milih Subway, mahal dikit, tapi nyaman untuk masa depan.
Tentang solusi di daerah, tentulah jika kepadatan penduduk di satu kota sudah lumayan tinggi (silakan cari angka pastinya di dinas tata kota ataupun kependudukan di daerah masing-masing) sepertinya antisipasi daerah itu penting. Belajar dari Jakarta, Bandung dan Surabaya yang sudah kian macet dari hari ke hari, tentunya kota lain yang berpotensi tinggi dalam perkembangan ekonominya, harus berani “getok” sejak awal. Sustainable development itu ‘kan frasanya. Setiap mengawali langkah kerja, saya selalu senang membuat risk assessment, sehingga risiko bisa diminimalisir kalau kita sudah tahu apa saja sebelumnya. Banyak loh pdf file di internet (gratis download juga!) tentang “how to conduct or outline risk assessment study”.
Selamat google ya, Mbak Intan! Jangan lupa ketik kata kuncinya “risk assessment pdf” tanpa titik sebelum pdf… mudah-mudahan banyak dapat ide. Selamat bekerja juga!
oki pancoro
November 24, 2007 at 12:22 pm
Mbak Mila,
Saya ingin mengucapkan terima kasih atas pembahasan artikel mengenai busway yg sederhana tp tajam. Saya sdg membuat paper mengenai tinjauan sosiologi hukum terhadap kebijakan publik pemprov DKI mengenai alternatif sistem transportasi “Busway” dalam sudut pandang kesadaran hukum. Dan salah satu referensi saya adalah artikel yg ditulis oleh mbak Mila.
Sekali lagi saya ucapkan terima kasih.
Mila
November 24, 2007 at 9:48 pm
Sukses buat paper-nya. It’s an honor to share anything to everyone. Pesan sebenarnya agar kita tak usah terlalu pusing sama ‘ulah’ Busway sekarang. Walau simpati saya tetap ke warga PI (btw, kantor saya di samping PIM, jadi saya juga komuter trayek pp Kemayoran ke PI yang melelahkan). Heboh di media memang tak mewakili suara 8 juta penduduk aseli Jakarta kok.
Btw, rame juga blog Mas Oki ya? Saya sampai cekikikan bacanya… apa tukang ingsinyur begini semua ya? Tapi kok kajiannya sosiologi hukum? Just curious. Salam kenal dan selamat membuat survei!
S'ymDolant
November 29, 2007 at 4:25 pm
mau..komentar agak sulit juga mengemukakannya.
masalahnya ??? pendapat masyarakat yg dijadikan sample kan baru dilihat dari yg punya pengetahuan tentang internet. Artinya pengambilan sample seharusnya dpt mewakili.
misalnya dari pihak penentu kebijakan (pemerintah)
dari masyarakat???? termasuk dari peran para peneliti, perwakilan dari konsorsium….sehingga akurasi informasi yg diperoleh lebih adil. Dengan demikian seharusnya ada penggabungan pendapat dari responden.
Saya kira dgn sampling respon masyarakat….jelas memiliki jawaban sepihak, begitu juga gn jawaban dari pihak pemerintah sebagai pemangku komitmen.
Hal lain, pertimbangan apa? dalan analisis pengukuran menggunakan AHP. metodologi tidak ditemuan… tujuan…perumusan masalah, kerangka analitik…..????
Saya khawatir hasilnya malah jadi bias.
Apalagi faktor-faktor lain seperti masalah sosial……dll..tidak dilakukan pengujian…inikan baru sempalan.
TQ
Mila
November 29, 2007 at 10:58 pm
Mas Dolant, tak usah dibawa susah. Santai saja. Paparan soal busway vs subway vs monorel ini bukan untuk memihak atau mencela. Justru membantu kita berpikir sedikit linier dan sistematis.
1) Sudah ada kok software untuk memproses karena perhitungan saya ini cuma untuk menunjukkan bagaimana memproses cara manual;
2) AHP itu yang penting tujuannya kok: mau lihat pemerintah berpikir apa tentang ketiga moda transportasi itu ya monggo saja, atau mau orang bule di Jakarta, ya kenapa tidak? Atau mau semua stakeholder dimasukkan ke dalam satu penelitian, silakan, tapi tentukan dulu kriterianya.
3) Masyarakat yang dijadikan sample memang tak banyak, toh ini hanya untuk menunjukkan “bagaimana cara AHP bekerja” bukan “bagaimana proses sampling-nya” karena kalau lengkap, akan sangat mahal untuk sebuah paper sederhana.
4) Tujuan, kerangka analitik, perumusan masalah…? Tak usah pusing, AHP adalah metodologi (cara melihat dan memecahkan masalah) untuk pemikiran kualitatif yang “dikuantifisir” karena menggunakan survei dengan sejumlah responden.
5) Mudahnya, kalau kita mau pilih pasangan hidup, tentu kita punya kriteria apa saja ‘kan? Dari 3 kriteria (pintar, kaya, sehat) berapa nilai si A, si B dan seterusnya. Akhirnya kita pilih dari nilai paling tinggi ‘kan? Sudah bagus kita bisa memilih…
Semudah itu.
Tjatur Arianto
Mei 13, 2009 at 7:41 pm
saya Tjatur Arianto…Teknik Sipil UI 2005
Apakah bisa bantu saya mengenai “sistem pentarifan bus pengumpan TRansjakarta” seperti yang sudah ada di BSD..
dan juga landasan hukum, hipotesis, dan teknik pengadaan bus pengumpan untuk transjakarta…terima kasih
Mila
Mei 18, 2009 at 9:04 pm
Saudara Tjatur, saya jawab secara pribadi ke email Anda ya. Terima kasih.
farah
September 13, 2009 at 5:52 pm
mba..saya rencana pgn membahas mengenai busway di bdg yang pengoperasianny mulur terus..saya mencoba mengkajiny dari sudut sosiologi..ada ide???
Wiro Sableng
Juli 23, 2010 at 8:29 pm
Selamat Malam… Week End enggak ada acara ya mending blogwalking aja. Setelah ngebaca artikelnya, Wiro Sableng ngasih komen begini :
klo butuh informasi tentang angkutan umum di jakarta, mampir aja di mari gan..
momo
Januari 5, 2012 at 4:53 pm
mba Mila, saya sedang belajar AHP dengan expert choice 11. bagaimana caranya memasukan data hasil kuisoner ke expertr choice itu?thanks
Mila
Januari 8, 2012 at 3:28 pm
Sudah punya software-nya? Baca help saja, atau bukunya, karena kalau jarak jauh begini sepertinya saya juga tak bisa banyak membantu…
Dian Jabar Syabani (@dianjabars)
Februari 14, 2013 at 4:55 pm
Halo mbak Mila,
Kebetulan skripsi saya tentang moda transportasi juga nih tapi studi kasus di Surabaya, skr saya lg nyari bahan literaturnya nih mbak, boleh tau gak beli bukunya Saaty itu dimana? karena saya cari di toko buku disini tidak ada.. terima kasih sebelumnya..
Mila
Februari 15, 2013 at 9:50 am
Cari di books.google.com bisa baca gratis, bisa dicari dengan kata kunci, walau ada beberapa semua halaman disembunyikan tapi intisari bahasan itu bisa dicerap dengan mudah dan gratisssss…. sukses ya!
Dian Jabar Syabani (@dianjabars)
Februari 16, 2013 at 3:40 pm
oke, thanks mbak
oiya untuk hasil kuisioner itu memasukkan hasilnya seperti apa ya mbak?
Maksudnya misal ada 5 responden dengan hasil prioritas berpasangan salah satu kriteria 5 6 8 3 4 jadi hasil rata-rata 26/5 = 5,2 berarti skala prioritasnya adalah 5, atau mungkin ada cara lain utk menghitungnya?
dan bagaimana cara memasukkan data di expert choice untuk hasil responden (rencananya saya ada 100 responden) untuk menentukan bobot masing2 kriteria dan hasil wawancara dengan salah satu ahli tata kota untuk menentukan bobot masing2 alternatif thp masing2 kriteria?
Maaf nanyanya agak panjang lebar mbak, mohon bantuannya… terima kasih..
Unik Blue
Februari 2, 2014 at 2:46 pm
mbak minta tolong … minta script atau program tentang metode AHP dong buat refrensi skripsi dalam pembuatan program …. makasih mbak kirm to email mkhikmawan@yahoo.com
mohon bantuannya sangat
Mila
Februari 3, 2014 at 1:27 am
Silakan langsung… unduh “trial version” di sini?
http://m-ahp.soft112.com/