Saya acungkan jempol untuk duet Menteri Hukum dan HAM dan Menteri/Sekretaris Negara hari ini yang mampu berpacu dengan waktu dan teknologi. Jika dulu membuka situs www.indonesia.go.id untuk mendapatkan peraturan perundangan termutakhir, saya harus menunggu sebulan hingga tiga bulan untuk bisa mendapatkan berkas resminya. Hari ini, tertanggal 16 November 2007, saya telah menemukan sebuah peraturan pemerintah (PP) yang ditandatangani Presiden tertanggal 5 November 2007, yaitu PP Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi.
Karena hanya sekilas saya membaca, terlalu awal jika saya memahami PP terakhir ini “mendukung penuh” atau “agak lari” dari konteks kebijakan publik dan semangat otonomi daerah. Tulisan ini hanya untuk berbagi pengalaman bagaimana membaca sekian banyak peraturan perundangan yang terkait dan harus dibaca dalam satu nafas.
Saat membaca PP 59/2007, saya kemudian membuka lagi PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pusat dan Daerah. Secara khusus, saya membuka Lampiran PP untuk Bidang ESDM. Hal paling krusial dan kontroversial dari pengaturan pusat versus daerah adalah terkait “izin”, untuk itu saya langsung mencari kata kunci “izin” dari kedua berkas ini.
Memang di lampiran PP 38/2007, setiap daerah (tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota) bisa mengeluarkan izin untuk penanaman modal ataupun survei awal eksplorasi “lintas daerah di satu provinsi”. Khusus survei awal di PP 59/2007, Kepala Pemerintah Provinsi harus mengusulkan dulu ke Menteri (dalam hal ini adalah Menteri ESDM). Mahalnya dan besarnya risiko pelaksanaan survei eksplorasi awal di suatu area mungkin menjadi pertimbangan utamanya.
Saya kemudian membuka berkas ketiga: PP 50/2007 tentang Tata Cara Kerjasama Daerah. Kerja sama daerah yang dimaksud adalah berupa kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/wali kota atau antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau gubernur, bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban. Secara tegas, ketentuan umum PP 50/2007 ini menegaskan bahwa Pihak Ketiga adalah “Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen atau sebutan lain, perusahaan swasta yang berbadan hukum, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Yayasan, dan lembaga di dalam negeri lainnya yang berbadan hukum.” Sedangkan pengaturannya sungguh amat normatif: jika sudah terikat dalam pos anggaran di dalam APBD, maka Gubernur/Bupati/Walikota tak perlu konsultasi lagi ke DPRD. Dan sebaliknya, jika tak ada dalam APBD tapi terkait pemungutan uang rakyat lagi, maka DPRD harus diberitahu dan dimintakan persetujuan.
Menarik benang merah dari semua PP di atas, seharusnya juga saya membuka UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, UU 22/2001 tentang Minyak & Gas Bumi, serta peraturan perundangan yang memiliki hierarki lebih tinggi di atas semua PP ini.
Saya juga harus membuka peraturan terkait sumber daya alam lainnya (sector specific regulations), di antaranya:
- PP 33/1969 tentang Dewan Pertambangan
- PP 27 /1980 tentang Penggolongan Bahan-Bahan Galian
- PP 79/1992 tentang Perubahan Peraturan Pelaksanaan UU Pertambangan
- Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996 tentang Perjanjian Karya Pertambangan Batubara
- Keputusan Menteri 180/1996 Penerimaan Pungutan Pertambangan Pemerintah Daerah
- Keputusan Presiden 31/1997 Kilang Minyak & Gas Swasta
Ada juga peraturan perundangan yang secara umum mengatur investasi (penanaman modal dalam negeri dan modal asing). Silakan membuka berkas:
- Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, serta
- Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal,
tanpa perlu mempertanyakan “mengapa kriteria, persyaratan dan daftar ini diatur melalui Peraturan Presiden”.
Yang pasti, peraturan ini menjadi pegangan untuk bidang-bidang yang tertutup ataupun terbuka untuk investasi asing, dan peraturan presiden ini tetap berlaku sampai dibatalkan secara hukum.
Ada juga yang terkait investasi pemerintah: PP 8/2007 tentang Investasi Pemerintah, yaitu penempatan sejumlah dana dan/atau barang oleh pemerintah pusat dalam jangka panjang untuk investasi pembelian surat berharga dan investasi langsung, yang mampu mengembalikan nilai pokok ditambah dengan manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya dalam jangka waktu tertentu.
Untuk membaca semua dalam satu nafas adalah tak mudah. Ternyata pekerjaan rumah saya banyak. Saya tutup tulisan ini di sini dulu, saya hendak membaca semua lebih teliti dalam beberapa hari ke depan. Mudah-mudahan ada waktu untuk menuliskan beberapa komentar kelak.
Silakan mencari semua di www.indonesia.go.id sebuah situs terpercaya dan kian terpercaya (the most most trusted website) untuk mendapatkan peraturan perundangan termutakhir.
Selamat dan terima kasih untuk perbaikan sistem pemerintahan yang tak henti, Pak Menkumham dan Pak Mensesneg.
Mumu Muhajir
November 21, 2007 at 12:50 pm
Salam kenal Bu Mila,
Memang sangat sulit membaca berbagai peraturan perundang-undangan dalam satu napas, apalagi sepertinya di Indonesia “Pembangunan Politik Hukum”, termasuk sistem hukum nasional, kerap kali terlupakan, sehingga yang tampak adalah kebijakan tambal sulam [baru saja perpres No 70 dan 71 tahun 2007 dibuat, tapi ia akan segera ada amandemennya].
Saya sendiri kerap mencermati isu otda terutama terkait pengelolaan SDA. Sampai sekarang saya juga masih belum tepat pasti tahu mana yang harus didahulukan: Peraturan OTDA atau Peraturan sektoral. Misalnya, walaupun PP No 38/2007 telah mengatur pembagian antar hirarkhi pmerintahan, tetapi jika di-overlay dengan pengaturan kehutanan, misalnya, akan tampak ada yang mis [pp itu tampak “sedikit” mengebiri kewenangan daerah – berbeda misalnnya ketika diatur dengan PP 25/2000]. Begitu juga dengan masalah ESDM [masalah pungutan daerah – yang ajaib banyak yang muncul tanpa ada perintah dari peraturan diatasnya].
Barangkali karena para pengambil kebijakan hanya bergerak ketika ada masalah, tidak komprehensif melihat jaringan masalahnya dan kurang antisipatif.
Terakhir dalam soal SDA, mengapa soal “kegiatan usaha” sering kali terlebih dahulu diatur dan detail, sementara masalah seperti “penentuan cadangan”, “penataan batas” dll yang non-ekonomi, kerap dilupakan? Hehehe…
Mumu
Mila
November 21, 2007 at 5:10 pm
Salam kenal juga Mas Mumu,
Untuk membaca dalam satu nafas ini, saya banyak belajar dari kawan-kawan yang memang SH LLM, karena bidang saya bukan hukum. Mereka selalu bilang, “Mbak, selalu baca dulu di awal: asas-manfaat-arah-tujuan dari setiap peraturan perundangan, lalu detail itu mengikuti (bla bla bla)”.
Nah terkadang ‘kan ada cek kosong dari UU yang kemudian diterjemahkan lain di PP dan peraturan di bawahnya. Apapun, selalu kita kembalikan lagi ke asas-manfaat-arah-tujuan dari peraturan perundangan itu. Satu hal lagi, saya selalu positive thinking dengan semua peraturan yang telah dibuat, sehingga dengan pikiran jernih kita bisa menerapkan peraturan perundangan lebih baik lagi. Kalaupun ada yang “mislek” toh ada mekanisme pembetulannya. The system is working just fine.
masarie
November 28, 2007 at 2:08 pm
muncul peraturan baru, muncul pula kebingungan baru.
kalau tidak karena susah diaplikasikan,
ya saling tumpang tindih. ahh…republik indonesia-KU!
salam kenal bu
purwa
Maret 28, 2009 at 10:30 am
mbak mila,
kalo aturan yang mengatur penyertaan modal pemerintah daerah diatur dimana ya?
soalnya sebagian besar pemda melakukan penyertaan modal tanpa persetujuan dprd, paling hanya persetujuan ketua dprd
dengan dalih sudah disetujui dalam perda apbd
padahal kalau mendirikan bumd harus dengan perda
nah, resiko mendirikan bumd pastinya lebih kecil daripada menyertakan modal kepada swasta (apalagi dalam kondisi merugi)
mohon tanggapannya, kalo bisa lewat email saya saja
terimakasih
salam
purwa
natan pangalinan
Oktober 20, 2009 at 7:58 am
dengan dikeluarkannya uu no 25 th 2007 ttg penanaman modal, nampak jelas begitu besar perlindungan yang diberikan kepada investor. Dalam ps 22 disebutkan pemberian HGU spi 95 th, HGB 80 th dan Hak Pakai 70 th. Ini sangat bertentangan dg UUPA ps 35, 29, 41 dimana HGB dan HGU diberikan sampai dg jangka waktu 50 th. Kalau suatu kawasan setelah dikeolola selama 95 tahun maka dapat dibayangkan anak cucu kita tidakakan mendapatkan apa-apa. Semua kekayaan alam sudah terkuras yang tersisa hanya penyesalan. Oleh karena itu sebelum peraturan perundang undangan dibentuk harus ada kajian akademis dahulu, buka akses yang selebar lebarnya bagi masyarakat untuk mem berikan pendapat (disosialisasikan) bukan ketika peraturan itu mau diberlakukan baru disosialisasikan.