Akhir tahun adalah saat koran menipis, kantong duit liburan menebal (juga perlahan menipis), dan khusus tahun ini sinar matahari juga turut irit. Para pengambil keputusan sedang berlibur. Ada yang ke Cipanas, Jawa Barat, ada juga yang ke Seminyak, Bali. Para hakim dan birokrat lain juga libur. Yang tidak libur adalah air pasang, angin kencang, dan distribusi beras miskin.
Miskin? Cerita yang tidak pernah selesai. Isu data kemiskinan mengingatkan saya pada episode serial TV West Wing (Martin Sheen dkk) yang juga ingin mengangkat social security di akhir tahun. Tak peduli rakyat mau miskin atau tidak, pilkada Sulsel tidak kunjung titik. Isu yang tak punya greget kecuali “putusan MA yang tak konsitusional” karena yang ada hanya penghitungan ulang, bukan putusan versi referendum. Gambar macet di Pasteur mungkin juga menghambat niat orang Jakarta dengan sedikit uangnya untuk berbelanja kue di Kartika Sari.
Tak perlu repot dengan semua isu di koran. Mungkin juga tak ada yang membaca koran di sela-sela ngopi memandang hijaunya rumput Istana Cipanas atau saat pijat spa menunggu sunset di Pantai Kuta. Saya adalah sedikit dari orang yang tidak berlibur (catatan: “libur” dalam istilah koran selama ini). Alasannya, satu, saya sudah berkeliling Indonesia di saat tugas dan terkadang membawa anak saya menikmati suasana dan mempelajari semua hal sepanjang perjalanan. Dua, dan yang paling lumrah: susah transportasi atau macet di jalan.
Liburan saya tetap jalan-jalan ke pasar tradisional. Paradoks juga, pasar tradisional tempat saya biasa belanja tak mengenal hari libur panjang akhir tahun. Mungkin hanya Lebaran saja mereka pulang kampung, selebihnya adalah berdagang seperti biasa (business as usual).
Kemarin ada sedikit sentilan dari Gus Choy (maaf Gus, saya lebih senang menulis begini daripada “Gus Choi”), bahwa di sisa tahun menjadi presiden ini, SBY harus membatasi perjalanan ke luar negeri. Nasehat yang bagus, tapi saya sebagai orang awam lebih memilih bertanya, “Pak SBY, resolusi tahun depan apa ya?”
Resolusi saya adalah perbaikan gizi anak saya dan pelajaran sekolah mereka. Dimulai dua hari terakhir ini, saya ajak si sulung ke pasar tradisional untuk “belajar IPA dan Matematika”. Jika ikan bawal tiga ekor harganya empat ribu, jadi berapa harga seekornya, Nak? Atau saya langsung menantang dia untuk bertanya berapa harga telur puyuh satu bungkus itu. “Katanya mau makan sop telur puyuh…” Pulang dari pasar, kita google bareng gambar burung puyuh yang punya telur sekecil itu, dibanding ayam dengan ukuran telur lebih besar.
Tak ada hari libur untuk seorang ibu, ‘kan?