Bulan lalu saya membaca majalah Parlementaria terbitan Sekretariat Jenderal DPR RI untuk sebuah kajian rancangan undang-undang. Seorang kawan duduk di sebelah saya menyentil, “Tertarik untuk memenuhi kuota 30%?” Saya langsung menggeleng pelan. Mrs Hillary Clinton adalah “produk 100% kuota” yang pertama terjadi di negerinya jika ia menang, tapi Indonesia sudah memulainya lebih dahulu dengan Ibu Megawati Soekarnoputri.
Pameo “perempuan untuk kebijakan perempuan” sebenarnya sudah ada sejak didirikannya kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (yang telah berganti nama beberapa kali). Beberapa kali juga berkunjung ke kantor Ibu Meutia Hatta, saya merasakan retorika kebijakan yang tak menjejakkan kaki ke bumi. Mungkin akan lebih murah dan mudah jika Meneg PP membagikan buku pengetahuan jender ke masyarakat pelosok-pelosok; tak perlu ada seminar berkali-kali. Lebih murah lagi jika pengetahuan reproduksi dibuat dalam sebuah poster tubuh wanita dengan penjelasan fungsi setiap organ, lalu dibagikan ke sekolah-sekolah. Mengapa harus selalu ada seminar dan diskusi yang tak jelas akhir ceritanya. How simple things are sometimes made so very complicated?
Ada yang menarik tentang anggaran negara tahun lalu yang melampaui Rp 750 trilyun; yang dinyatakan di Kompas hari ini di halaman 1: “Sri Mulyani Indrawati mencurigai… terjadi lonjakan pencairan anggaran belanja modal pada akhir periode anggaran, yakni dua pekan terakhir dalam bulan Desember 2007.”
Saya menggeleng lagi. Ada yang seminar melulu, ada juga yang kepepet waktu baru urus belanja modal. Tentu tak ada jembatan atau sekolah dibangun dalam 2 minggu! Government spending adalah resep ekonomi pasca-modernisme, tapi di Indonesia hanya menjadi masakan asal jadi. Sesekali bacalah tulisan Paul Krugman (New York Times, Not the New Deal, 2005) tentang era baru, kesepakatan baru.
It’s possible to spend large sums honestly, as Franklin D. Roosevelt demonstrated in the 1930’s. F.D.R. presided over a huge expansion of federal spending, including a lot of discretionary spending by the Works Progress Administration. Yet the image of public relief, widely regarded as corrupt before the New Deal, actually improved markedly… Turning the funds over to state and local governments isn’t the answer, either. F.D.R. actually made a point of taking control away from local politicians; then as now, patronage played a big role in local politics.
Ini baru pusing di tingkat eksekutif, bagaimana di hulu pengambil keputusan? Di Komisi 1 DPR RI memang bisa dihitung dengan sebelah tangan saja jumlah wakil perempuan. Sedangkan keputusan Komisi 1 lebih ke politik dalam dan luar negeri; dan tidak banyak perempuan yang punya pengetahuan atau pendidikan formal di hukum internasional, misalnya. Bagaimana dengan komisi lain (untuk sektor lain) di DPR? Adakah persyaratan minimum yang perlu dimiliki seseorang untuk bisa melihat satu masalah negeri ini dalam kacamata lebih luas?
Kait mata rantai yang cukup menyulitkan, bukan? Memilih wakil perempuan (ataupun wakil pria) di DPR dengan kapasitas dan kapabilitas seadanya akan menyebabkan “keputusan yang diambil pun seadanya”. Penting akhirnya kuota 30% dibarengi dengan syarat kualitatif, utamanya pendidikan formal dan/atau pengalaman dalam sektor di komisi tersebut.
Jika benar anggaran pendidikan di negeri ini naik (dari hanya 10% menjadi 15%, misalnya, dan mungkin belum memenuhi amanat konstitusi negeri ini), ada baiknya dipikirkan untuk perangkat yang lebih tepat-sasaran seperti beasiswa hanya untuk perempuan berprestasi (pendidikan formal) atau subsidi biaya kegiatan mengajar keterampilan ke seluruh Indonesia (pendidikan non-formal). Pendidikan jender di Meneg PP hanya titik awal, karena yang lebih penting adalah eksekusi peningkatan kapasitas dan kapabilitas perempuan. Eksekusi peningkatan ini ternyata tidak dibebankan ke anggaran kementerian yang khusus menangani perempuan. Ternyata “mengurus perempuan” tidak mudah…