RSS

Flood Aftermath

04 Jan

Beberapa hari ini saya terkagum-kagum dengan harga tahu dan tempe yang melonjak. Jika lima ribu rupiah saya bisa mendapat lebih dari 20 potong tahu, sejak seminggu terakhir ini saya hanya mendapat 15. Tempe dari Rp 2000 menjadi Rp 3000 untuk potongan yang sama. Ini baru tahu dan tempe, yang bahan dasarnya terendam banjir di beberapa sentra pertanian di negeri ini. Agar tak membusuk karena hujan, bawang merah dipanen lebih cepat. Pakan ternak seperti bekatul bahkan tepung bekicot suplainya berkurang; lagi-lagi disebabkan oleh genangan air. Hal ini kemudian menyebabkan daging unggas dan sapi turut merangkak naik. Itik pun malas bertelur, kedinginan. Yang lebih seru juga adalah harga terigu dunia sudah lama naik karena banyak negara penghasil terigu gagal panen gara-gara cuaca buruk. Produk turunannya, roti pun harganya jadi naik Rp 500,- dari harga bulan lalu. Dan saya adalah soccer mom indicator, atau indikator ekonomi paling kasat mata…

***

Semua karena fenomena alam? Itu kata ahlinya; dan ini sentilan di karikatur Kompas pagi ini. Kita yang menikmati lebih banyak matahari dalam setahun seharusnya bersyukur. Namun untuk mengantisipasi “fenomena alam” ada baiknya belajar berpikir seperti mereka di negara-negara lain dalam menangani situasi kepepet dalam setahun. Orang terkaya di Swedia adalah produsen Tetra-Pak, kemasan yang bisa membuat awet susu dan makanan sampai setahun mengingat musim dingin yang lama. Daging yang diawetkan juga konon mulai diproduksi massal di era Napoleon Bonaparte untuk menyuplai tentara Perancis. Mereka semua berpikir dan bertindak karena kekurangan matahari atau berada dalam kondisi darurat.

Sekali lagi, jangan salahkan global warming, greenhouse effect, natural phenomenon, atau frasa-frasa canggih lainnya. Kita harus mampu berpikir seperti orang kepepet. Sikapi banjir yang sedang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, dengan cerdas. Jika banjir sepanjang Sungai Bengawan Solo memang fenomena alam, kita manusia harus lebih cerdik mengantisipasinya. Bagaimana ya?

***

Harus disadari, orang Jakarta sudah mulai merasakan dampaknya. Perlahan tapi pasti. Memang “rasanya” tidak seperti banjir besar di Jakarta sendiri, atau tak seperti banjir bandang (flash flood) yang tiba-tiba datang dan cepat surut. Kali ini perekonomian nasional turut terombang-ambing tak jelas.

Hari ini juga di media cetak nasional jelas tak ada pernyataan Presiden atau Wakil Presiden atau menteri-menteri terkait lain soal kebijakan antisipasi bencana alam ini. Yang menarik adalah foto halaman 19 Kompas hari ini; saya tersenyum melihat foto Ibu Sri Mulyani, Pak Boediono, dan Pak Burhanuddin Abdullah. Pemilihan ekspresi muka menteri-menteri ekonomi kita yang exhausted atau memble ini bukan sembarangan ditempatkan redaksinya.

Memang mengawali tahun 2008 ini media-media nasional tidak menempatkan kegiatan Presiden atau Wakil Presiden sebagai topik halaman 1. Hillary v. Obama di Kaukus Iowa malah mendapatkan porsi lebih besar. Perhatikan mengapa Partai Demokrat mengungguli Partai Republik kali ini? Rakyat di sana sudah lelah dengan perang yang menghabiskan anggaran negara. Isu ekonomi dan kesejahteraan rakyat dalam negeri diangkat oleh kedua kandidat presiden dari Partai Demokrat ini. Dalam materi kampanye, kedua kandidat ini juga pernah menyinggung soal FEMA (Federal Emergency Management Agency) sebuah badan negara yang menangani soal mitigasi bencana (penyelamatan korban) atau perhitungan pasca-bencana (sumbangan korban hingga pembangunan infrastruktur kembali).

Presiden SBY mengunjungi kampung halamannya Pacitan akhir tahun lalu dengan menyumbang uang. Cukup? Hanya untuk usaha pencitraan diri, mungkin cukup. Saya tak tahu apakah ada rapat khusus menangani bencana ini. Saya hampir yakin kalau kita semua di Indonesia sudah terbiasa dengan sikap “bencana alam harus diterima saja” toh ini fenomena alam biasa.

***

Yang saya maksud dengan flood aftermath ini adalah hitung-hitungan pasca-bencana secara luas. Kerugian individu sudah pasti, tapi masalah ini sudah menjadi masalah nasional yang harus memelekkan mata kita semua (apalagi pengambil keputusan tertinggi di negeri ini).

Salah satu kenikmatan menjadi warga negara berkembang adalah “mudahnya mendapatkan pengetahuan” yang telah dipikirkan orang lain (klik di sini untuk mendapatkan salah satu pengetahuan gratis itu). Upaya membuat waduk-waduk kecil di sepanjang Sungai Bengawan Solo adalah satu hal, namun ada baiknya juga dipikirkan bagaimana stabilitas suplai pangan sejak di pasar input hulu (petani beras atau produsen dedak), pasar input hilir (pedagang beras atau petani itik) hingga ke pasar output (pembeli beras dan telur asin). Silakan klik di sini untuk mendorong Presiden segera ambil keputusan soal ini.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Januari 4, 2008 inci presiden, public policy

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

 
%d blogger menyukai ini: