Di Amerika Serikat (menurut film yang saya tonton dan artikel yang saya google), seorang presiden di sana itu harus berlatih bicara beberapa malam di satu tempat secara reguler (silakan google dengan kata kunci speech camp). Berbicara di depan publik bahkan sudah diajarkan sejak usia sekolah (setara SMA di sini). Itu di Amerika sana…
Sekarang perhatikan dengan bicara di publik a la pemimpin kita. Bayangkan, gerakan tangan seperti presiden kita: sudah bagus, lebih banyak terbuka ke atas. Hanya kelenturan gerakan yang perlu diperhatikan, demikian kritik satu kawan saya dalam diskusi warung kopi.
Bandingkan lagi dengan Amerika sana. Walau di depannya teleprompter mati karena listrik mati, seorang presiden Amerika Serikat harus mampu berbicara retorikal dan patriotis. Gerakan-gerakan aneh (menggaruk rambut atau mengerutkan kening) bisa menjadi berita headline. Sudut pengambilan foto Bill Clinton yang salah bahkan bisa membuat pipinya seakan penyok atau mulutnya manyun.
Dalam foto jumpa pers yang dimuat Kompas beberapa hari lalu seputar pernyataan bersama Menko Perekonomian Boediono, Menkeu Sri Mulyani, dan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, perhatikan ekspresi setiap menteri: lelah dan kosong. Not a good gesture to start the economy of 2008, does it?
Selanjutnya, hari ini (masih di Kompas tapi, tapi di halaman 1) tampil sosok Presiden dan Wakil Presiden setelah berkunjung ke mantan presiden RI, Soeharto. Ironisnya, di bawahnya ada berita bencana ratusan rumah hancur di Kepulauan Seribu dan 1500 orang kehilangan tempat tinggal. Di sebelah berita bencana alam ini ada berita intermesso: “Meramal Nasib Rakyat dan Politisi” yang menampilkan foto sosok-sosok peramal nasional (saking negeri ini tak pernah percaya lain selain tahayul?). Hey, ini hari Minggu. Tak ada lagu sedih di hari Minggu. Buktinya hari ini Jakarta cerah (walau gerimis sebagian).
Presiden memang tak boleh datang ke daerah bencana sampai dinyatakan daerah itu aman dari bencana. Lebih baik datang ke rumah sakit, sebagai gesture simpatik terhadap yang sakit. Kata beberapa film lagi, gesture sebuah berita tak hanya seputar mimik muka di depan pers, tapi bisa juga dengan menyusun prioritas berita. “Jangan naikkan kasus X karena lebih baik bahas Y agar pakar Z bisa menjawab” dan seterusnya.
Betul, berita juga mengenal dramaturgi.