RSS

Media Mental Tempe

14 Jan

Baca detik.com hari ini. Ada 114 berita disuguhkan hingga lepas magrib, dan 71% (atau 81 berita) adalah tentang seorang mantan presiden di negeri ini. Hanya ada 2 berita tentang demo pedagang tahu dan tempe, dan dua berita juga tentang Obama-Hillary. Ada yang salah dari gambar ini?

Sebagai seorang soccer mom, saya bertarung dengan harga bahan pokok yang tak kunjung turun. Saya juga harus terkaget-kaget saat ada bahan pokok yang hilang dari pasar. Kemarin, saya panik mencari bayam yang tak ada di mana-mana, karena biasanya bisa didapat di lebih dari 10 pedagang di pasar tersebut (setara dengan jumlah pedagang ikan!) Kemarin bayam, hari ini tahu tempe.

Tadi pagi berniat membuat perkedel tahu, saya berkeliling pasar selama sepuluh menit khusus mencari bahan murah-meriah itu. Di semua letak pedagang tahu yang saya kenal, tak ada satupun yang berdagang. Saya pulang dengan membeli telur, “Ya sudah, dadar telur sajalah.” Saya harus merogoh kocek lebih dalam lagi.

Tahu (Rp 2500,- untuk 10 potong ukuran kecil) dan tempe (Rp 3000 per potong panjang 20cm lebar 9cm) adalah dua bahan makanan yang selalu saya beli setiap hari. Masak kecap, bumbu balado, perkedel, pepes, goreng tepung dan masih banyak lagi variasi yang bisa saya pikirkan dari dua bahan makanan berprotein tinggi ini. Harganya pun masih jauh di bawah ikan mujair (Rp 13 ribu per kilo isi 3 ekor ukuran sedang), telur (Rp 12.500,- ribu per kilo isi 16 butir), daging sapi (Rp 52 ribu sekilo), atau bahan berprotein lainnya.

Di pasar tadi, Si Mbok tukang sayur guyon dengan isi tas belanja saya, “Tomat, cabe, wortel. Tahu tempe pasti kelewat.” Saya senyum.

Sore ini tetangga saya berkomentar, “Halah, yang lebih sengsara dari Pak Harto ajah banyak, kok semua tipi dan koran ngurus dia doang.” Saya manggut.

Sejam lalu, pegawai suami saya malah cerita, dia punya tetangga tukang tempe yang protes kenapa harus ikut demo padahal tak punya uang untuk makan hari ini saja. Tempe yang sudah dibuatnya kemudian dibuang dan diinjak-injak oleh kawan seprofesinya. Saya menggeleng sekarang.

Hari ini saya juga tak rela melihat media sekredibel detikcom mengumbar seorang yang sedang sakit dan butuh ketenangan. Sedangkan “sakit” negara ini mungkin tak berhenti kalau Pak Harto diadili. Tiga opsi yang ditawarkan di Kompas hari ini tak mampu menjadi pemikiran lebih lanjut.

Sayang memang, media hari ini tak peduli dengan jeritan pedagang tempe tahu yang hanya hidup dari marjin kecil saja, bahkan mendekati nol. Bahan dasar kedelai mengapa harus impor? Tak adakah media massa yang menginvestigasi masalah ini hingga ke akarnya. Ataukah memang semua wartawan negeri ini menjelma semuanya jadi wartawan gosip?

Satu orang diramal begini-begitu, dicari tahu hingga proses pemakamannya padahal orangnya masih bernafas; cerita yang beginian adalah gosip elit karena satu orang itu adalah mantan petinggi negeri ini. Mungkin kalau Presiden SBY atau Wapres JK tak pilih topik Pak Harto sakit minggu lalu, tapi memilih topik mitigasi banjir atau detail rencana kerjasama bilateral dengan Myanmar, media massa kita tak terjebak dengan gosip elit hari ini. Mungkin.

Satu orang sakit versus tiga puluh persen populasi negeri ini yang notabene adalah rakyat miskin; model statistik apapun tak berfungsi baik untuk menjelaskan 81% reportase gosip elit di media massa kita. Hei, namanya juga infotainmen! Gossip ’em badly where noone has ever gossiped it before.

Cepat sembuh, Pak Harto, supaya media massa kita ikut eling.

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada Januari 14, 2008 inci Pak Harto

 

One response to “Media Mental Tempe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

 
%d blogger menyukai ini: