Saya punya lagu baru, “Ayo kawan kita bermain, menanam jagung di kebun ‘dele. Ambil cangkulmu, lupakan tempe, lupakan tahu… menanam jagung di kebun ‘dele.”
Serius, beberapa waktu terakhir petani di Amerika Serikat juga menanam jagung di kebun kedelai. Jagung produksi mereka tidak untuk konsumsi makanan sehari-hari, tapi untuk dibuat menjadi cellulosic ethanol, atau sejenis alkohol untuk energi alternatif. Alkohol jenis ini kemudian dicampur dengan bensin yang biasa disebut sebagai gasohol.
Trend energi alternatif ini kemudian melahirkan jenis inflasi baru: agflasi atau agflation (dari kata agro- dan -flation). Perkembangan terakhir lain seputar tanaman kedelai adalah bahwa Brazil dan Argentina mengalami gagal panen biji kedelai, serta permintaan kedelai China menjelang Tahun Baru meningkat. Inflasi di China 3,0% in April 2007 dipicu oleh inflasi makanan 7,1%. Tahun ini mungkin pemicunya naik lebih tinggi.
***
Di Indonesia jagung dipilih karena bisa dijual lebih mahal daripada kedelai. Untuk diproduksi menjadi ethanol, permintaan dalam negeri mungkin masih sedikit. Tak semua provinsi di Indonesia mampu membangun pabrik ethanol, tapi setahun terakhir di Amerika Serikat ada 105 pabrik ethanol besar berdiri di 12 negara bagian (Illinois, Indiana, Iowa, Kansas, Michigan, Minnesota, Missouri, Ohio, Nebraska, North Dakota, South Dakota dan Wisconsin). Di Indonesia, fasilitas manufaktur ethanol masih dikuasai Medco, juga Sampoerna sebagai pemain baru.
Pilihan lain petani kita adalah bahwa bonggol jagung itu lebih baik diekspor untuk mendapatkan harga tinggi di saat permintaan dunia naik. Mari kita urut: penawaran kedelai dunia berkurang dan permintaan naik; yang terjadi tentulah gagal pasar. Justru yang menarik adalah “jagung” sebagai penyebabnya. Satu produk berbeda menjadi substitusi satu arah. Jagung masih bisa menjadi biofuel yang ramah lingkungan, tapi kedelai belum dapat menjadi energi alternatif. Kedelai masih menghasilkan emisi sama besar dengan fossil fuel, belum lagi banyak hutan akan terpangkas untuk membuka lahan kedelai baru jika pasokan tahu tempe tak ingin terancam.
If we are smart enough, we should’ve seen it coming. People respond to incentives; profit mostly.
ps. Btw, jagung manis harganya dua ribu rupiah untuk per tiga bonggol besarnya. Sedangkan untuk 3.000 kg jagung, bisa diproduksi menjadi 1240 liter ethanol; atau sekitar 12 kg jagung menjadi satu galon ethanol (3,78 liter). Ada kajian hitung-hitungan jagung menjadi ethanol, lihat di sini.
Sepertinya masih untung kalau jualan bakwan jagung daripada ethanol ya?
Bedanya memang satu orang cuma mampu makan jagung sehari paling kenyang sepuluh potong atau kira-kira satu kg jagung; sedangkan gasohol untuk satu motor keliling Jakarta satu hari tanpa henti bisa habiskan 5 liter (1 liter untuk 20 km).
Jadi pilih mana, konsumsi sehari satu kg jagung untuk satu orang (bakwan jagung); atau 15 kg untuk satu motor (gasohol dari jagung)?
Makanya, biarkan orang sakit istirahat. Banyak hitung-hitungan, banyak kerjaan lain menunggu! Eling atuh Pak…