Sen. Hillary Clinton’s camp has purchased a one-hour block of prime-time real estate on Hallmark Channel, securing airtime from 9 p.m. to 10 p.m. on the eve of Super Tuesday.(www.mediaweek.com)
Dulu saya pernah dikarantina untuk merumuskan aturan isi siaran. Turunan dari aturan ini kemudian dibuat juga khusus tentang media dan pemilihan umum, legislatif, hingga pilkada. Yang terakhir seingat saya, tak ada karantina (atau konsinyir, istilah birokrasinya). Saya adalah orang yang selalu berdebat (sambil tertawa-tawa) dengan Bang Ade Armando. Dia percaya demokrasi itu adalah satu hal utama dan satu-satunya, dan saya berada di ekstrem lain. Soal perumusan isi siaran ini Bang Ade memang berperan besar (tapi saya lebih besar lagi ya ‘Bang?) karena memang beliau memiliki jam terbang tinggi.
Kembali ke aturan main isi siaran pemilu-pilkada. Hillary Clinton “membeli” jam siar Hallmark untuk sebuah acara tanya-jawab. Hallmark adalah saluran televisi berlangganan (via satelit) yang beam siarannya bisa diatur; kali ini footprint-nya hanya Amerika Serikat. Hallmark menyajikan film dan acara keluarga yang bernada soft. Jangan harap penonton bisa menonton Bourne Ultimatum di sini, atau The Simpsons.
Di Indonesia, saya membayangkan ada satu dua saluran televisi berlangganan (lokal) yang bisa menampung dialog seperti ini lebih intensif lagi. Khusus untuk Pemilu 2009, mungkin. Jika perlu, dibayar oleh para kandidat dan partainya. Tentu etika jurnalisme tetap harus dipegang, karena jika tidak akan menghasilkan iklan kosong saja.
Atas “perintah” Pak Doopy Irwan dari Indostar, dahulu saya pernah ditugaskan “membangun” saluran Swara (seperti C-Span di Amerika Serikat sana) yang menyajikan prosiding sidang di DPR RI. Hari ini masih ada, tapi pengelolanya Sekjen DPR RI sendiri. Ada juga saluran berlangganan lokal khusus bisnis yang dikelola (dimiliki?) Peter Gontha. Ada juga saluran sinetron melulu milik Astro, di mana Raam Punjabi memanfaatkan perpustakaan sinetronnya.
Masalahnya adalah: penonton televisi berlangganan di Indonesia baru 400 ribu (data Juli 2007) dan di Amerika Serikat penetrasi televisi berlangganan sudah di atas 90%. Adalah berat jika seorang kandidat hanya melakukan kampanye di TV berlangganan saja.
Pada akhirnya, siapapun kandidat yang ingin tampil menjelang 2009 ini, peran media buyer cukup besar. Ia harus dapat memanfaatkan setiap platform media yang ada. Memetakan sebuah paket yang ingin disampaikan ke publik hingga mengevaluasi pergerakan opini publik, ia harus berpikir strategis. Siap-siap “pesta” lagi? Mudah-mudahan tahun depan tidak pakai banjir…