Bagaimana orang-orang macam kita bisa maju, jika semua karya cipta buatan mereka di Uni Eropa diproteksi hingga 95 tahun lamanya. Amerika sudah lebih dulu mematok 95 tahun, dan Australia 70 tahun.
Padahal dipikir-pikir, dengan semakin demokratisnya kehidupan media (“internet governance has less and less government control“) serta semakin bersatunya platform (“henponku adalah radio FM-ku dan kameraku“) apakah bijak jika karya cipta benar-benar diproteksi sekian lama?
Terus-terang, saya adalah plagiat ulung. Saya baca karya orang, dan saya terjemahkan dalam bahasa yang dilatar-belakangi tumpukan pengalaman saya. Dengan begitu, otak saya berputar terus, “bagaimana jika diimplementasikan di kehidupan saya, kehidupan RT sini, ataupun hingga ke pelosok negeri ini.” Saya baca, lalu saya tulis pendapat saya. Mau kutip, silakan. Mau diakui jadi paper-nya sendiri, silakan. Toh, plagiat macam begini hanya bisa menulis di situ saja. Tak akan ada pengembangan lebih lanjut. No-brainer copycat? Sure, a no-go destination.
Sekali lagi, karya cipta adalah mekanisme kapitalisme yang paling mutakhir. Setelah barang dan jasa tangible alias bisa dipegang sudah aus nilainya, lahirlah konsep hak intelektual yang ditempel ke setiap lini berusaha.
Duh, saya selalu suka nasehat ini: “look but not touch”. Ini adalah labirin yang dibangun sebagai citra sebuah karya cipta. Pencitraan seperti ini: “Insentif pencipta harus ada, tapi yang tak perlu ada adalah kesejahteraan orang lain.” Selanjutnya, uang saya bukan uang kamu. Kepintaran saya, untuk apa kamu ikut pintar. Padahal teknologi itu adalah variabel pertumbuhan yang kian hari kian dinamis.
Faktor “T” dalam sebuah fungsi pertumbuhan ekonomi menjadi kemutlakan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Jika tidak, lihatlah inefisiensi yang kian menumpuk. Kita makin miskin sementara kita juga kian tergantung dengan produk internasional. Bayangkan bahwa selama ini manusia Indonesia hanya semata-mata pasar empuk. Tak pernah memproduksi puluhan barang atau jasa yang kian efisien.
Pak Presiden tercinta, tak pernahkah terpikir satu hari kelak manusia-manusia Indonesia tak hanya jago main sinetron tapi juga membuat televisi yang setipis cermin kamar mandi?
Irwin Day
Maret 3, 2008 at 10:06 am
Don’t Worry Sis, dimana ada aksi selalu ada reaksi. Proprietary vs Free Open Source Software adalah contoh yang nyata dan guess what, muncul-nya dari kalangan mereka juga.