Terus terang ini judul DVD yang belum saya tonton; sudah lama dibeli. Menonton sambil lalu pun perlu waktu dan mood khusus. Sebenarnya sejak SD saya suka membaca novel dan puisi, bahkan pernah berguru pada Pak Sides Sudyarto DS. Sekarang saya kurangi karena tidak banyak berhubungan dengan pekerjaan. Karya sastra saya nikmati sekarang adalah dalam bentuk DVD, baik yang berisi blockbuster ataupun indie movie. Too lazy to read? Probably.
Sesekali memang masih membaca karya Adhitya Mulya (crunchy, setengah jam baca selesai!) atau karya istrinya Ninit. Dahulu bacaan saya “Lajar Terkembang” Sutan Takdir Alisyahbana atau “Salah Asoehan” Abdul Muis, dan kalau bacaan yang populer paling-paling cuma karya Arswendo Atmowiloto atau Hilman di Majalah Hai. Tak banyak pilihan memang, tapi deskripsi para maestro ini bisa membawa saya ke langit imajinasi ketujuh.
Terus terang saya iri dengan anak muda sekarang yang bacaan novelnya lebih banyak dari jaman saya dulu. Teenlit, chicklit atau metropop (genre atau istilah pemasaran penerbitnya untuk bacaan perempuan usia belasan hingga awal 30-an) bisa dijumpai di bandara hingga Alfamart.
Sekarang ada Tatyana, Miund, Ninit, Sitta, Fira, Dewi, dan ratusan penulis perempuan muda lain yang patut disimak. Hampir semuanya adalah urban-setting, dan terkadang bisa lebih berani dari sekadar sapaan pergaulan. Terus-terang lagi, saya tak mampu bergaya bahasa seperti mereka; pun jika waktu itu saya seusia mereka. Banyak juga yang telah diterjemahkan ke dalam medium layar lebar dan layar kaca. Bayangkan lagi dahulu hanya ada Hilman dan Mas Wendo yang ngocol. Sekarang penulis perempuan–apalagi karya mereka–jumlahnya melebihi uban di rambut saya. Memperhatikan sampul buku karya mereka saya bisa terkagum-kagum. Bandingkan saja dengan kualitas buku karya penulis Malaysia atau India. Garing.