Hari ini di halaman 14 Kompas diberitakan promosi doktor di Jurusan Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Disimpulkan oleh sang doktor baru Thomas Noach Peea itu begini, “Asosiasi [P3I] inilah yang nantinya memonitor praktik bisnis iklan dan memberi sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran dan kerugian yang ditimbulkannya.”
Sebelumnya saya membaca tulisan Pak Budiarto Shambazy “Geleng dan Angguk Kepala” di halaman sebelumnya. Saya terbiasa membuka koran halaman 1, lalu halaman terakhir soal tokoh, kemudian membuka halaman dari belakang. Tidak penting tapi ini ritual saya setiap pagi membaca koran yang seharusnya disurvei sebuah media massa untuk penentuan prioritas isi. Penempatan isi media kemudian yang bisa mengarahkan para pengiklan membuat strategi pemasaran produk dan jasanya. Ini adalah proses satu nafas sejak saya membaca halaman 1 sebuah koran di pagi hari.
Membaca kolom Pak Baz itu saya ikut menggangguk dan menggeleng. Kembali saya bertanya, demokratisasi apa yang Indonesia anut? Demokratisasi asal cangkem saja? Lalu saya meloncat (quantum leap?), apakah memang program glontor S2 dan S3 di UI ini juga tidak menganut pakem “riset benar hingga ke titik permasalahan”?
Saya kemudian mengangguk. P3I sudah memiliki kode etik yang diperbaharui hampir tiga tahun lalu. Kebetulan saya bersama Bang Ade Armando dan Pak Victor Menayang pernah ikut urun rembug dalam proses revisi itu bersama P3I di era Pak RTS Masli. Permasalahan sesungguhnya bukanlah “tak ada penegakan sanksi” bagi pengiklan yang nakal. Permasalahannya adalah tak semua biro iklan di negeri ini adalah anggota P3I, dan tak semua yang beriklan itu melalui biro iklan (alias dari produsen kripik, misalnya, langsung ke rumah produksi untuk membuat materi iklan TV dan ke stasiun televisi untuk proses media buying). Jika anggota P3I diberi sanksi, mengapa yang bukan anggota tidak diberi sanksi? Di mana peran KPI dan Depkominfo? Riuh rendah ini membentuk kegagalan pasar yang kronis (baca: government failure).
Hal kedua membuat saya menggeleng kepala, yaitu masalah “melanggar etika” secara mendasar. Pak Peea menekankan masalah kejahatan simbolik. Secara pribadi malah berpikir etika media adalah given process in a society. Mau media panggung, koran ataupun internet (seperti blog saya ini), semua memiliki etika yang berproses. Nilai-nilai kebaikan universal tetap ada, dan nilai-nilai kejahatan (seperti korupsi yang membuat tulisan Pak Baz kian menggigit) juga tetap hidup. Keduanya tak bisa dilihat dalam dua nafas berbeda.
Selain itu, jika Pak Peea berpikir media dan produk turunannya sebagai sebuah proses kejahatan, lucunya Gereja Vatikan malah melihat “[viewing] the media as ‘gifts of God’ which, in accordance with his providential design, bring people together and ‘help them to cooperate with his plan for their salvation’.”
Sanksi terhadap iklan tak beretika sudah dijalankan bagi anggota P3I. Bahkan telah ada Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang diwajibkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Telah lama ada tapi tak efisien atau tak terdengar fungsinya karena banyak hal. Masalahnya–mengutip gerutu Pak Baz pagi ini–penegak hukum negeri ini hanya mampu bilang, “Sabar saja dulu, besok saya berikan sanksi.” Besok itu berarti “hingga waktu tak terhingga”?
freddy menayang
Maret 16, 2008 at 3:40 pm
Mbak Mila, apakah berkenan kontribusi tulisan untuk Buku “Victor Menayang – sketsa, ekspresi, harapan para sahabat dan kolega”. saya adalah kakak Victor, yang saat ini walaupun sadar tapi penuh dengan keterbatasan akibat stroke batang otak yang diderita sejak 31 Mei 2005 yang lalu.
Buku ini akan merupakan kompilasi tulisan-tulisan maupun sharing dari perjumpaan dan diskusi dengan Victor Menayang. Mudah-mudahan Buku ini nantinya dapat bermanfaat sebagai salah satu referensi para akademisi dan praktisi di komunikasi dan media massa.
Bagi para pembaca umum, buku ini diharapkan dapat menjadi inspirasi tentang arti persahabatan, komitmen, dedikasi, kesetiaan dan kasih sayang.
Maaf apabila request ini tidak nyambung (karena saya dan Tari isteri Victor tidak tahu persis para kolega Victor yang perlu kita ajak untuk ikut menulis).
Namun apabila Mbak Mila (dan mungkin ada beberapa netters yang kebetulan kenal Victor dan ingin kontribusi) berkenan, silahkan hubungi saya untuk detail dan teknis penulisan (kita juga bisa bantu dengan wawancara dan menuliskan, buat yang tidak sempat menulis….pastinya Mbak Mila termasuk yang lebih suka menulis sendiri), silahkan hubungi saya di:
alfredmenayang@***.com atau di hp 08*** 166 373
Terima kasih,
freddy
Mila
Maret 16, 2008 at 4:26 pm
Dear Pak Freddy,
Terhormat rasanya bisa memberikan kontribusi. Banyak sekali pelajaran birokrasi dan keilmuan (komunikasi) yang saya dapat dari Pak Victor. Saya pernah “diomeli” Pak Victor soal Kedubes Perancis hahaha saya ingat beliau akhirnya tak enak sendiri melihat saya bingung. “Mbak, pokoknya urusan sama kedutaan itu urusan antar-negara, jadi hati-hati.” Oh, itu maksudnya! Dasar saya yang naif… tapi beliau satu-satunya orang yang lebih tua dari saya yang memanggil saya “Mbak”! How generous…
Terima kasih. Saya telah mengirim email ke Pak Freddy untuk beberapa hal. Sampai nanti.
Utty
Mei 13, 2008 at 6:00 pm
Mba,
Saya dulu (berdua dengan Mba Etty yang sekarang sedang kuliah di Brandeis) pernah kenal Pak Victor, kami asistennya untuk pilot project. Saya sangat kaget dan tetep berharap Pak Victor bisa pulih semaksimal mungkin. Sukur2 bisa nulis buku 🙂 Beliau memang orang yang to whom kita dapat belajar soal integritas dan semangat menuju ke kebaikan, sosok yang totally pintar dan bijaksana dan mau berbagi pengalaman dan kepintarannya, gaya coachingnya tidak menggurui, santai tapi serius, kadang angkuh tapi totally low profile in some ways. He’s just such a great mentor. All the best untuk Pak Victor.
Mila
Mei 13, 2008 at 10:44 pm
Salam kenal Mbak Utty, saya belajar banyak sekali dari beliau dalam waktu sesingkat itu. Integritas, inilah yang saya lihat dari beliau. Totally!
:))))
Tasha
Mei 29, 2008 at 5:37 pm
Dear Mbak Mila,
apa aku boleh panggil mbak Mila juga? Hahahaha…khusus orang yg lebih tua aja ya…masih ingat aku gak? aku Tasha, yang suka bantu Pak VM di KPD dan kampus. Bu Mila, kalau aku salut sama beliau karena Beliau itu sosok Bapak yang sangat menghargai orang banget, gak perduli kita itu siapa. Aku banyak belajar selama +/- 4 tahun kerja dengan beliau. Dia gak mandang aku anak kemaren sore… profesional banget. Aku sedih banget, begitu tau Beliau stroke, Beliau stroke 1 bulan setelah aku pindah ikut suami ke Surabaya. Pada saat itu Beliau masih suka contact aku, salah satu pesannya adalah aku harus sekolah lagi. Beliau bilang itu satu2 nya hutang aku pada nya. pokoknya sediiiiihhhh bgt… Hebat…btw, bu masih ingat gak sama cologne pink yg dikasih buat anakku? masih ku pake sampe sekarang loh!!!
Mila
Mei 30, 2008 at 4:27 am
TASHA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Apa kabar? Aku ingat waktu itu kamu telepon teriak-teriak marah ke semua orang “angkat! angkat! stroke itu harus segera dibawa ke rumah sakit!” Seriously, aku juga enggak tahu itu sampai kamu bilang ayah kamu juga kena stroke. Karena aku tahu beberapa orang di sekitar VM magrib waktu itu hanya duduk-duduk menekan dadanya sementara VM sudah *sensor* (aku sedih banget ngetik ini).
Aku juga sekolah lagi karena termotivasi sama beliau. Aku mau bisa berpikir sistematis seperti beliau. Dia itu guru aku yang gratis (karena bayar uang kuliah untuk ketemu Prof Jatun itu mahal hahahahaha).
Apa kegiatan? Aku ngetik di sini karena ‘gak ingin jadi bisul aja. Dan banyak kawan lama yang kirim email atau bahkan telepon “Eh nulis lagi ya sekarang?” Hahaha lebih baik nulis daripada jadi bisul… people reading ’em just add the fun. Eh kok link kamu ke multiply ‘gak ada? Email aku ya… mungkin saya akan ke Surabaya bulan depan, kangen sama nenek di Dharmahusada. Kamu dekat situ ‘kan?
*HUGS*
:)))
Tasha
Mei 30, 2008 at 1:34 pm
hweheheh..bu mil, multiply addressnya kurang 2 huruf..hahaha…bu mil email nya apa?…btw, aku dah balik ke JKT Mei ini.
Utty
Juni 3, 2008 at 7:18 pm
Hallo lagi mba Milla, dan salam kenal Tasha (pernah dengar nama Tasha waktu Beliau di KPI yah)? Baru tengok malam ini, dan saya (masih tetep) sedih membaca tulisan Mba Milla di atas — cukup detail buat orang awam kayak saya. Rasa gak rela melihat orang yang berkualitas untuk sebuah Indonesia — jatuh sakit. I have no idea bahwa Beliau pernah kena stroke before. Saya bisa membayangan bagaimana paniknya Tasha waktu itu.
Tapi memang tidak ada hal yang lebih membanggakan daripada pernah belajar sesuatu dari Beliau ‘only’ by seeing/observing how he responded or decide about anything. Mba Etty dah sekolah lagi berkat motivasi Beliau juga, saya siy masih mandeg — jadi karyawan dan ngurus anak saja. But of course, saya masih mau sekolah kalo things are feasible from my side — ‘mesti specific’ kata Beliau.
Mba Milla, kalo buku dah terbit, please I wanna have one copy, gimana caranya nanti… please kindly up date me yah? Thank you so much.
Mila
Juni 3, 2008 at 9:56 pm
Tasha kalau ke Jakarta, kita harus reunian!!!! Ada banyak sekolah dan pekerjaan menantimu, Dik hehehe
Dear Mbak Utty, tentu akan aku simpan beberapa copy tapi setelah saya dapatkan dari Pak Freddy Tulung; kakak kandung Pak Victor yang bercita-cita buku ini selesai sebelum ultah beliau 19 November ini!
Cheer up! Kalau dipikir begini, memang sedih. Tapi ingat loh, Pak Victor tetap survive juga karena masih ada semangat. Jadi ingat film Lorenzo’s Oil. Atau memang ada miracle yang membawanya menjadi Stephen Hawking yang akan datang? Sama-sama parallyzed neck down, tapi tetap berpikir untuk dunia!
:))))
Tante Vira
Juni 9, 2008 at 2:34 pm
haha! sama tuh yaaa cara kita baca koran.