Sudah lama saya tidak posting. Banyak hal kecil-kecil yang harus saya tuntaskan IRL – in real life. Yep, blogosphere hanya ‘my dust bin’. Mengetik di sini butuh isi. Kalau begitu, saya harus membaca. Membaca, saya perlu ketenangan. Di saat banyak hal terjadi dalam keseharian, termasuk menemani sahabat dari Kalimantan, tentu duduk tenang adalah kenikmatan tersendiri. Seperti sekarang ini. I am filling up my dust bin again.
OK.
Jepang telah mampu menghipnotis anak-anak dengan produk manga superhero mereka macam Ultraman, Power Rangers (yang ternyata bule semua), atau Dragon Ball. Sayangnya memang pesona manga ini diproduksi secara lepasan. Tidak dalam kerangka industri besar. Begini ya, jika berpikir industri content atau tayangan ataupun produk audio visual berbagai format (CD, DVD, streaming, dst.), haruslah berpikir seperti raksasa media macam Time Warner atau News Corporation atau Bertelsmann dan seterusnya.
Satu contoh adalah Time Warner. Fokus Time Warner tahun ini adalah content, bukan pipa distribusinya. Menjual sahamnya di Warner Cable, CEO Time Warner yang baru, Jeffrey Bewkes, akan memfokuskan produksi audio visualnya: film di dua raksasa studionya (New Line Cinema dan Warner Brothers) serta tayangan televisi (original programming) di saluran kabelnya (HBO, TNN, TBS, CNN).
Tidak memfokuskan lagi di saluran distribusi adalah strategi baru dari raksasa media macam Time Warner. Sementara Fox, salah satu anak perusahaan raksasa media lain, News Corporation, semakin ekspansif mencari saluran-saluran baru. News Corp bahkan kian menggeliat dengan media baru (baca: internet).
Ada apa ya?
Ya, Time Warner melihat ada copyright di situ. Hak atas kekayaan intelektual yang berlaku 90 tahun untuk bisa dilepas bebas ke publik. Sembilan puluh tahun ke depan, Bewkes juga sudah almarhum, yang berarti profit yang dinikmati adalah selamanya.
Kalau mau cari yang gratis-gratis (dalam bentuk karya cipta tertulis, bukan audio visual) saya bisa dengan mudah mencarinya di http://www.gutenberg.org, tapi kalau mau yang audio visual bayar murah, siapa tak kenal ITC Ambassador atau Glodok? Saya sempat berpikir waktu Pak Wapres kita singgung soal HaKI minggu lalu (Kompas halaman 15): ini hanya wacana atau memang tahu masalah sesungguhnya sih?