Saya mencoba untuk menjadi orang yang selalu berpikir baik. Ada satu saat saya menggeleng, tapi kemudian saya akhirnya memahami, “Oh mereka hanya ingin lebih.”
Jika Postel mengaku kecewa berat dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), maka saya sebagai rakyat yang tinggal di Pulau Jawa tidak terpengaruh. Apapun putusan PTUN, toh saya punya telepon tetap dan bergerak yang baik-baik saja. Yang lain pakai kaleng saja, ya.
Saran seorang kawan tadi pagi adalah: melihat perkara tender atau lelang USO dengan ACeS sebagai penggugat dan Pemerintah cq Ditjen Postel sebagai tergugat, sebaiknya gunakan kacamata plus (tarik kepala sejauh tulisan itu terbaca). Pulau Jawa adalah pulau terpadat per kilometer perseginya; beruntung infrastruktur dibangun di sini lebih gencar. Lihat pulau-pulau lain mungkin hati saya akan miris, tapi beruntung saya belum memakai kacamata nenek-nenek hari ini. Saya cuek aja.
Jika Bapak Anggito Abimanyu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Republik Indonesia, menyatakan bahwa efisiensi jajaran pemerintah bisa menghemat Rp 9 trilyun per tahunnya, kawan saya tadi pagi teriak, “Lebih!” dan saya balas dengan senyum. Lah, kok baru tahu dia?
Jika banyak orang protes bahwa seharusnya hari ini BBM tak perlu naik, atau yang “diprotesi” bilang rela tidak populer, saya malah dengan senang hati akan teriak di Bunderan HI, “Naikkan BBM sekarang atau Pemilu 2009 batal!?” Lah iya, saya terus-terang tidak mau ada rusuh gaya Mei 1998 terulang. Serius, lebih baik saya menangis lihat di perempatan Coca Cola (antara Jalan Laks. Yos Sudarso dan Jalan Letjen. Suprapto) berubah menjadi rumah gembel 24 jam. Mau bencong ada, mau anak kurus kecil ada, atau nenek-nenek buta juga ada. Mau remaja putri hamil yang tak jelas bapaknya juga banyak. Lebih baik nangis di jalan, daripada nangis di rumah. Home sweet home, peduli amat sama yang di jalanan.
Jika industri nyerempet birokrasi itu hal biasa di Amerika Serikat sampai pecah Perang Irak. Halo minyak, halo Texiraque (Texas dan Irak). Di sini malah sopan. Ada yayasan pemberdayaan anak (nitip uang kampanye ya?), ada juga pembangunan infrastruktur ICT (pakai software saya doang ya?), ada juga anthurium yang dibuat berharga seperti lukisan Monet (mau cuci uang ya, jangan pakai Rinso dong, kuno!) dan semua itu dilakukan dengan sangat santun. Tak ada senjata tajam atau api yang digunakan dalam proses “persinggungan industri-birokrasi” di negeri ini.
Hari ini saya hanya punya waktu 5 menit untuk merenung.
Selesai.