RSS

What Price Culture? The Indonesian Way

24 Jul

Satu kalimat tanya yang singkat tapi menggelitik: what price culture, really?

Di saat bangsa Kanada bingung menentukan ia bertrah Perancis atau Inggris, negeri ini justru “santai-santai aja” dengan keragaman budaya dan bahasa. Bung Karno pakai kopiah bukan blangkon, dan tampil necis dengan safari. Pak Harto pakai jas, kadang baju koko. Bu Mega tampil cantik mengenakan kebaya. Pak SBY selalu pakai jas atau batik. Siapapun pemimpin negeri ini, lihatlah bagaimana beragam adat dan suku bangsa hidup di bawah satu bendera.

Menakjubkan.

Lalu berapa harganya jika ingin menjadi bagian dari GDP?

Pariwisata? Loyo, jika dilihat agregat seluruh potensi alam dan budaya daerah. Kalau hanya Bali, satu hari tentu ada titik “exhausted”. Jika saja ingin memperhitungkan cultural heritage yang bisa menjadi ikon pariwisata yang unik setiap daerah (yang tentunya harus dihitung untuk profit agregat), dengan menjual rasa eksotisme sejarah negeri ini, tentu mahal harganya. Sayangnya, transportasi dan akomodasi ke situs-situs kuno buruk, serta sejumlah biaya promosi yang tak jelas pertanggungjawabannya (ya karena korupsi, ya karena asal pasang media apa saja tanpa dihitung outcome dari penempatan media itu).

Pendidikan? Sebagai bekal anak-anak untuk menjual ide kebudayaan (dalam bentuk film, musik, dan seterusnya), berapa banyak anak Indonesia yang tahu menari Pendet atau memegang kamera? Jangan sampai anak-anak hanya tahu bahwa menyanyi itu hanya untuk popularitas, tanpa diperkenalkan bagaimana menjual musiknya ke luar negeri. Atau filmnya, atau tenaga kreatifnya, atau… (simpati saya untuk Inul, tapi terus-terang saya kok gak mudeng ya melihat overexposure Inul menangis di acara gosip pascaditolak oleh Pemerintah Johor Bahru, Malaysia?)

Perdagangan? Berapa banyak orang yang tahu lukisan Raden Saleh itu mahal, atau Affandi, atau banyak maestro lain. Ada yang rusak teronggok, ada juga yang memang tak dipikirkan menjadi komoditas khusus. Pernahkah terpikir sebuah balai lelang a la Christie’s untuk produk-produk anak bangsa ini? Mungkin bisa dimulai dari pasar domestik dulu…

***

Ambil contoh industri musik: konser musik pop anak muda, bukan pentas tarian tradisional (atau tarian a la GSP jaman dulu) yang lebih banyak menjadi pasokan pasar domestik. Dari satu pasar ini saja (anak muda yang menonton konser ini) saya melihat sebuah partial equilibrium market, atau pasar keseimbangan parsial. Lihat juga bagaimana pasar ringback tone atau konser televisi hingga pasar pembuatan klip video yang melibatkan banyak tenaga kerja kreatif. Ini adalah sebuah multi-market; dengan kajian general equilibrium markets.

Dari sini, kita bisa melihat pergerakan industri setiap tahun, dalam kurva multi-series. Kita bisa kaji juga bagaimana perkembangan ini menjadi bagian dari pendapatan nasional; dengan persyaratan tentu pendapatan rumah tangga atau perusahaan terpantau baik. Persyaratan dari hal ini adalah sistem gaji hingga pemasukan dari iklan televisi juga terpantau dengan baik.

Pertanyaan saya kemudian, bagaimana menjadikan anak bangsa negeri ini menghargai kebudayaan negeri sendiri setinggi itu? Bagaimana mereka merasa dilindungi dan diberi insentif atas hasil pemikiran dan perbuatan mereka?

Ah… sungguh sebuah angan-angan siang bolong: bagaimana pemerintah kita menjalankan kebijakan hak cipta produk kebudayaan dengan baik (bukan cuma sebuah kantor birokrat nun jauh di Tangerang sana yang tak punya outcome jelas bagi kemaslahatan rakyat ini, yang mungkin berdalih “Ah, kantor ini ‘kan hanya sebuah direktorat jenderal saja, bagaimana mungkin berkoordinasi dengan Menteri Budaya dan Pariwisata atau Menteri Pendidikan Nasional?”). Yeah right…

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Juli 24, 2008 inci public policy

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

 
%d blogger menyukai ini: