Sudah dua minggu ini Depkominfo membahas digitalisasi di TVRI; per tanggal 13 Agustus 2008 ini televisi yang dibiayai APBN dan APBD (walau di PP-nya tak ada APBD karena mungkin salah copy-paste) ini memulai siaran percobaan digitalnya. Di dua kali acara TVRI untuk masyarakat ini, saya tetap tak melihat esensi dari analog-to-digital switch off sepuluh tahun yang akan datang, yang keluar dari mulut petinggi di departemen yang mengurus sektor informasi dan komunikasi ini.
Yang saya catat ternyata adalah pengulangan yang kurang menyentuh akar permasalahan:
1. Kualitas gambar dan suara mengalami perbaikan. Dilupakan bahwa interferensi pun (seperti angin) akan mengganggu transmisi digital.
2. Slot frekuensi yang kian banyak akan lebih luas dimanfaatkan pemain industri penyiaran. Dilupakan juga bahwa tak semua alokasi frekuensi itu dibagi-bagikan sampai habis padahal pasar sudah terkonsentrasi luar biasa hari ini.
3. Penayangan sosialisasi melulu di TVRI. Dilupakan ataukah mahal untuk meminta televisi swasta membuat sosialisasi yang komprehensif agar suatu hari kelak membeli set top box tak lagi membuat orang jantungan.
Yang paling esensial, setidaknya menurut siapalah.saya.dotcom ini, Digital Switch Over (DSO) telah berlangsung di banyak negara maju, yang telah didahului dengan berbagai kajian dan dokumen terbuka untuk bahan diskusi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). Klik sini untuk salah satu bahan diskusi di OFCOM. Apa yang dikupas di dalam bahan diskusi ini? Siapa yang paling menjadi pertimbangan utama saat DSO terlaksana? Industri atau penonton di rumah?
Ini adalah pertanyaan yang secara positif harus dituntaskan, juga harus tertanam di setiap kepala pengambil kebijakan DSO di negeri ini. Sosialisasi yang hanya diberikan di TVRI dengan hanya mengundang regulator atau pemain industri. Apakah ada yang terlupakan, yaitu konsumen (baca: penonton secara umum) yang bisa diwakili YLKI ataupun asosiasi teknis-non teknis lain? Tentunya dalam kerangka public interest, public necessities and public welfare (baca: total welfare). Ketiga pilar ini adalah hal utama yang harus disampaikan dalam melaksanakan kebijakan DSO ini, seperti yang banyak menjadi pertimbangan regulator penyiaran di banyak negara.
Sayangnya hingga hari ini tak banyak peran masyarakat umum untuk turut berpartisipasi melakukan kajian dampak (impact assessment) menuju DSO hingga pasca-DSO. Tak ada hasil diskusi terbuka untuk umum mengapa DVB yang diambil sebagai standar dan bukannya standar lain. Tak ada pula penyampaian anggaran yang transparan ke publik jika memang set top box di awal ini dibiayai oleh negara.
Yang paling penting dari semua ini, alasan regulator yang mengatur DSO ini masih belum menyentuh ke akar masalah sesungguhnya: Indonesia membuka diri terhadap kemajuan jaman karena di saat DSO terjadi, perangkat televisi analog adalah barang museum.
Heck, langkah percobaan digitalisasi oleh TVRI dan dua TV swasta untuk ke titik DSO sepuluh tahun lagi mungkin belum terlalu terlambat. Selamat ulang tahun semua TV!