Kolom
Amelia Day
Kata “aora” dalam bahasa Spanyol mengandung arti “sekarang”. Nah, mulai sekarang pulalah di Indonesia siaran divisi utama Inggris, Premier League, hijrah ke televisi berbayar yang baru seumur jagung nongol di Indonesia, AORA TV.
Entitas usaha yang dimotori Rini Soemarno, mantan menteri perindustrian dan perdagangan era Megawati, ini menurut undang-undang nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran masuk dalam kategori Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) via satelit.
Saking mudanya usia AORA, kita bisa dapati banyaknya ghost link atau halaman under construction dalam situs resmi LPB tersebut, http://www.aora.tv, yang juga didukung http://www.nontonligainggris.com, hingga sekarang. Jadi, tidak mengherankan bila nama AORA masih terdengar asing di telinga para penggila bola di negeri ini.
Mengapa sebuah televisi baru bisa langsung mendapatkan tayangan bergengsi sekelas Liga Premier? Fenomena ini adalah lanjutan dari keanehan yang berawal di musim lalu ketika para pencinta liga Inggris secara mendadak harus hijrah dari stasiun televisi Trans7 ke televisi berbayar milik Malaysia yang mulai beroperasi di Indonesia, Astro Nusantara.
Bila tahun lalu sebagian kecil siaran Premier League masih bisa kita ikuti di TV One, sebagai salah satu stasiun televisi free-to-air di Indonesia, kini tampaknya tak bakal ada lagi tayangan gratis siaran langsung Liga Premier di Indonesia.
Sebanyak 370 paket tayangan superlengkap Premier League 2008/09 di Indonesia hanya bisa dinikmati lewat AORA. Seharusnya sistem penayangan Liga Inggris yang sepenuhnya berbayar ini sudah berlaku mendunia sejak musim lalu, tapi Indonesia menjadi sebuah pengecualian. Mengapa sampai terjadi demikian?
UE Hapus Monopoli
Semua berawal saat pada 2007 Komisi Eropa tidak lagi mengizinkan transaksi pembelian tunggal hak siar Liga Inggris di pasar Uni Eropa. Larangan monopoli ini juga diikuti aturan agar sistem kontrak dibuat berdurasi lebih pendek, hanya setahun saja dari semula yang bisa berjangka tiga sampai lima tahun.
Dalam kawasan Uni Eropa disiarkan 380 pertandingan Premier League yang terbagi dalam empat paket, yaitu live audio-visual rights, near-live audio-visual rights, mobile rights, dan national radio rights.
Live audio-visual rights terdiri dari enam paket siaran yang masing-masing terdiri dari 23 laga siaran langsung. Near-live audio-visual rights terdiri dari dua paket yang masing-masing terdiri dari 121 laga siaran tunda.
Mobile rights adalah paket tunggal yang berisi klip-klip pertandingan berdurasi maksimal lima menit yang bisa disaksikan lewat perangkat nirkabel dengan batasan aturan berbeda. Terakhir, national radio rights terdiri dari tujuh paket yang masing-masing berisi 32 pertandingan siaran langsung audio saja.
Seluruh paket hak siar ini dibuat Football Association of Premier League di Inggris dengan Komisi Eropa. Hasilnya paket ini kemudian dibeli BSkyB dan Setanta dengan nilai 1,7 miliar pound alias 29,2 triliun rupiah.
BSkyB berhak menyiarkan Premier League di kawasan Inggris dan seluruh Uni Eropa, kecuali Irlandia. Setanta memegang pasar Irlandia. Pada sisi lain, BBC, yang membayar “hanya” 171,6 juta pound (Rp 2,95 triliun), cuma mendapatkan hak untuk siaran radio secara penuh dan tayangan highlights untuk tiga musim sekaligus.
Meski relatif kecil, Szymanski menyebut angka yang dibayarkan BBC di atas sebenarnya sudah naik sebesar 63% dari nilai kontrak sebelumnya. Biaya untuk menonton aksi Manchester United dan klub-klub top di liga domestik Inggris memang tidak murah karena tingkat permintaan yang terus meningkat.
Regulasi yang mirip dengan di kawasan Uni Eropa hanya berlaku di negara-negara persemakmuran karena ikatan latar belakang historis mereka dengan Inggris. Selebihnya hak siar Liga Premier di dunia, juga mulai pada 2007, dijual dengan beragam cara baru yang tergantung pada potensi pasar sebuah kawasan, cakupan wilayah siaran, dan durasi kontrak.
Anomali Akibat Protes
Nah, imbas evolusi aturan di Uni Eropa tersebut juga rupanya terasa hingga Asia, yang terpancing untuk memopulerkan sistem bayar per tayang, yang jelas-jelas bakal lebih menguntungkan. Astro di 2007/08 membeli hak siar untuk wilayah Malaysia (Astro Malaysia), Brunei (Kristal Astro), dan Indonesia (Astro Nusantara). Paket siaran ini dinamai sebagai Paket Transaksi Astro.
Anomali yang terjadi di Indonesia pada era baru penjualan paket hak siar ini muncul ketika eksklusivitas siaran Liga Premier diprotes banyak penggemar di Tanah Air. ESPN-Star Sports (ESS), yang memegang hak siar untuk sebagian besar pasar Asia, terpaksa membuka lelang khusus di 2007/08.
Mungkinkah anomali yang sama terjadi musim ini?
Hingga tulisan ini saya susun, AORA masih merupakan satu-satunya LPB yang memegang hak siar Premier League 2008/09 di Indonesia. Paket lelang khusus seperti tahun lalu juga telah dibuka ESS, tapi tidak diminati sponsor yang mendanai Lembaga Penyiaran Swasta.
Kita harus menunggu solusi baru untuk situasi ini. Sebagai wacana, penjualan hak siar lintas negara seperti di Asia Tenggara juga terjadi di Afrika. Sebuah LPB di Uganda, GTV, bahkan berani membeli hak siar Liga Primer untuk ditayangkan di 48 negara Afrika dengan kontrak tiga tahun sekaligus!
Uniknya, GTV sebenarnya baru diluncurkan dua bulan sebelum musim 2007/08 dimulai. Ada apa di belakang fenomena yang mirip kelahiran mendadak AORA di Indonesia ini?
Migrasi Nol Rupiah
Saya yakin bahwa untuk musim ini ke depan churn rate atau angka pemutusan dekoder yang tinggi akan terjadi di Astro Nusantara. Sebagian dari mereka akan beralih–sambil mengomel–ke AORA.
Hal ini sulit untuk ditoleransi bila dilihat dari sudut kepentingan konsumen. Saya menilai perlindungan konsumen di negeri ini masih sebatas pada hal-hal yang kasat mata, seperti bagi orang yang dirugikan karena mengonsumsi makanan kadaluwarsa atau pemadaman listrik yang membuat dunia industri tidak produktif.
Sebaliknya, tingkat kenyamanan menonton sepakbola bagi para penggemar Premier League adalah sesuatu yang tidak bisa diukur secara eksak. Lembaga regulator penyiaran di negeri ini seharusnya terusik untuk mempertimbangkan isu tersebut sebagai hal yang penting dan mendasar.
Bila mereka tidak bisa menghitung dampak perpindahan siaran Premier League dari Astro Nusantara ke AORA terhadap kenyamanan pemirsa secara akurat, hitunglah berapa uang yang harus dikeluarkan para penggemar untuk membeli dekoder baru.
Mengingat banjir keuntungan yang diperoleh Astro tahun lalu, ada baiknya operator prematur seperti AORA mempertimbangkan kenyamanan publik di atas segalanya. Bila warga Indonesia harus mengubah dekodernya untuk menonton siaran Premier League dengan nyaman, harus dipastikan bahwa biaya migrasi ini adalah nol rupiah.
http://www.bolanews.com/edisi-cetak/tv12.htm