Iklan radio di Amerika Serikat turun 10% sejak Oktober 2007; membuat pasar melemah 18 bulan berturut-turut. Radio CBS bahkan turun 12%, Citadel 10.9%, CC Media Holdings, pemilik Clear Channel Communications, menyatakan bahwa penghasilan dari radio menurun 7%. COx 6.2%. Emmis Communications turun 1.5% dan Radio One 2%.
Di Indonesia, ada segelintir pemilik radio besar, seperti beberapa konglomerasi media Elshinta, MNC, Suara Surabaya, OZ Bandung, 99ers Bandung, dan beberapa lain kelompok usaha kecil lainnya. Dari segelintir ini, beberapa inovasi (teknis dan nonteknis) telah dijalani. Mulai megubah programming hingga mencari pipa distribusi baru seperti streaming via internet. Masalahnya kemudian, terjadi pergeseran pola pembaca, pendengar dan pemirsa di banyak belahan dunia. Salah satu indikatornya di Indonesia adalah tingginya hit Detikcom (berita online), Kaskus Radio (streaming radio) atau Binus Watch (audio-visual). Social networks adalah sebuah jargon yang terdengar gaungnya dua tahun terakhir. Jejaring sosial yang dimaksud ini adalah wired bulla, memberikan informasi sekaligus mendulang uang. Bulla adalah tabung untuk menuliskan transaksi barter ribuan tahun silam.
Sekarang, setelah semua transaksi kian canggih, nilainya tak perlu lagi digoreskan ke tabung tanah bernama bulla. Hari ini segala bentuk jual beli pun bisa ditemui secara online. Dengan demikian banyak kegiatan IRL (in real life) kemudian digeser. Kita pun berinteraksi secara online: membaca e-koran hingga menulis agenda. Menonton acara audio visual, mendengar lagu juga bisa dunikmati di situs-situs online. Tak lagi orang dengan sengaja memutar radio, kecuali berada di tengah kemacetan kota Jakarta dan sekitarnya. Tak lagi orang menunggu acara televisi malam seantusias sepuluh tahun silam.
Pola interaktivitas manusia yang kian dinamis ini mewajibkan pemikiran-pemikiran out of the box sebagai sekoci bisnis radio yang mulai kolaps.