Sehat adalah murah. Antidot-nya adalah sakit. Sakit itu berarti bayar dokter Rp 120 ribu, rontgen Rp 150 ribu, cek darah-dahak-feses Rp 400 ribu dan obat antibiotik dkk sebesar Rp 450 ribu. Mahal.
Harga itu masih terbilang masuk akal dibanding jika harus ke Singapura atau ke rumah sakit swasta, mengingat harga itu adalah Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Cipto Mangunkusumo. Sebagai gantinya, saya harus menyusuri koridor labirin di sana. Saya bisa bertanya tujuh kali sejak tempat parkir untuk menemui ruangan praktek atau loket radiologi. Saya juga harus bertengkar dengan penyerobot antrean atau sabar menanti petugas administrasi tunggal di loket pendaftaran. Atau bahkan harus menutup telinga mendengar bisingnya orang lalu lalang, atau pasien bawel yang merasa datanya hilang.
“Pak Sodap, Pak Sodap…?”
Panggilan nama ini sungguh sedap didengar. Saya terkikik dalam hati saat mendengar percakapan yang dipanggil Pak Sodap ini dengan petugas administrasi pendaftaran.
“Kenapa nama saya tak ada lagi di data Anda, heh…”, tanyanya dengan logat kental sambil memberikan secarik kertas berisi namanya: Mr Sodap, Jalan Mencong sekian sekian.
Sang petugas administrasi memanggil Pak Sodap ke dalam loket untuk mengecek sendiri ejaan namanya di komputer. Pak Sodap menghampirinya.
“Jangan pakai ‘mister’, ketik saja Sodap, begitu…”
“Lah, ini em-er di depan nama Bapak apa dong?”
Saya nyaris terbahak kalau tidak mengingat etika kesopanan terhadap orang yang tak saya kenal.
Saya kembali termenung menunggu panggilan dokter. Mencoret sesuatu atau membaca koran di kala menunggu buat saya adalah tindakan yang lebih berarti selain melamun. Ah, kali ini saya mau melamun saja. Membayangkan sebuah rumah sakit umum pusat yang tertata rapi dan terintegrasi. Tak perlu ada beberapa apotek sekaligus dalam satu gedung. Tak perlu ada berbagai loket. Tak ada jam istirahat yang molor sehingga pasien yang sudah sekarat harus menunggu petugas loket yang sedang istirahat makan siang.
Terkesan memang area RSUP Cipto ini dibuat seperti rumah tumbuh; sayangnya, tidak direncanakan dengan matang. Sejak awal ditunjuknya Dr Cipto Mangunkusumo sebagai ikon kedokteran dan kesehatan Indonesia, rumah sakit ini sudah salah kelola (bahasa kerennya: mismanagement). Membaca Kompas pagi ini tentang sejarah kedokteran di Indonesia, Sabtu 23/5/2009, saya ingin mencerna lagi apakah ribet-nya tata ruang RSUP Cipto ini terkait dengan sejarah berdirinya sebuah kampus kedokteran di negeri ini.
Dinyatakan dr Kartono Mohamad bahwa bahwa kedokteran adalah sekolah pertama yang dibuat untuk menangani penyakit wabah sebelum Indonesia merdeka. Ditambahkan Prof S Somadikarta bahwa universitas di negara-negara maju didirikan sebagai tempat eksklusif, berawal dari tempat kongkow pemikir dan pendakwah.
Ah, itu dia!
Karena bersifat darurat sejak awal — tidak sebagai tempat tenang berpikir dan mengobati rasa ingin tahu yang tinggi terhadap segala sesuatu — lahirlah sebuah rumah sakit yang selalu darurat. Darurat adalah krisis! Darurat adalah gunakan yang ada saja dahulu sebelum ditemukan yang terbaik. Perencanaan untuk memprediksi segala sesuatu adalah hal terakhir yang harus dilakukan. “Nanti keburu orangnya meninggal…”
Seharusnya krisis itu baik. Prof Yohannes Surya malah menekankan manusia survive atau berevolusi untuk bertindakan lebih baik jika berada di bawah tekanan krisis. Seharusnya krisis bisa menjadi pegangan hari ini untuk terus berproses yang lebih baik ke depan. Tentu, saya melihat pembangunan gedung mewah baru bertitel “internasional” di sebelah barat area RSUP Cipto. Saya hari ini juga melihat warung tenda di dalam halaman rumah sakit telah digusur untuk tempat parkir yang lebih nyaman. Saya juga melihat lantai baru mengkilat di beberapa titik.
Melihat RSUP Cipto seperti melihat Indonesia Raya ukuran mini. Berantakan, chaos. Saya terhenyak saat nama saya dipanggil. Lebih dari sepuluh menit saya diperiksa, sekaligus saya bertanya ini-itu tentang penyakit saya. Bertanya adalah hak pasien, dan hanya bisa saya temui di RSUP Cipto ini. Pengalaman saya ke beberapa rumah sakit swasta yang bertitel internasional sekaligus, dokter-dokter spelialisnya banyak yang sakit sariawan; jarang menjawab tuntas pertanyaan remeh-temeh pasiennya.
Keluar dari ruangan mungil sang dokter yang baik itu, saya kembali bingung saat diberitahu ongkos rontgen, cek darah-dahak-feses serta harga obat. Saya melihat sekeliling saya… ada yang bersandal jepit, ada yang bolak-balik memfotokopi berkas jaminan kesehatan. Walau saya tak perlu mengurus dokumen Gakin dan kawan-kawannya, saya tetap merasa sebagai wong cilik yang sesungguhnya. Apakah saya korban dari manajemen negara yang sakit? Dari tiga capres yang akan datang itu, siapa yang peduli sih…? Platform kampanye semuanya terfokus di masalah ekonomi ini, ekonomi itu.
Saya rakyat kecil, dan saya perlu dicerahkan soal rencana tunjangan kesehatan yang nyaman buat saya.
I do need your assurance on HEALTH CARE PLAN, Bapak dan Ibu Capres!
Click here for info on some-heart-throbbing USA health care plan.