Seminggu sebelum libur akhir tahun saya bertemu dengan guru di sekolah swasta. Ia menyatakan bahwa materi untuk anak SD sekarang terlalu banyak dan tumpang tindih. Anak belum bisa berhitung pertambahan, waktu sudah mepet untuk belajar pengurangan. Banyak topik pun tumpang-tindih di beberapa mata pelajaran. Ia menyatakan bahwa untuk mengajarkan sebuah konsep abstrak, seperti “kerukunan”, terkadang anak harus diberi proyek khusus agar mengerti bukan menghapal definisi. Permasalahannya, hapalan hanya menghabiskan sekian menit di satu hari dan proyek khusus menghabiskan waktu jauh lebih lama untuk mempersiapkan dan melakoninya.
Akibatnya anak akhirnya terlalu lelah didorong untuk menyelesaikan banyak hal di waktu sempit; dan PR pun menjadi pekerjaan wajib setiap malam. Tak tanggung-tanggung, di sekolah lain, setahu saya ada yang bisa 2 sampai 3 mata pelajaran sekaligus. Ini pun terjadi di setiap malam bahkan untuk libur akhir tahun kemarin pun.
Anak kelelahan, dan predikat macam-macam pun ditempel di kening sang anak. Saya akhirnya bisa mengerti bagaimana Kak Seto memberlakukan homeschooling untuk anak remajanya; mungkin untuk menambah nilai lebih dari kurikulum yang ada di sekolah hari ini. Menambah nilai, bukan menambah beban…
Di tengah informasi yang sejublak dan mudah dicari hari ini, seorang anak tentunya tak perlu terlalu banyak menghabiskan waktunya menghapal “nama 33 gubernur dari 33 provinsi hari ini” atau “semua jenis antibiotika khusus daerah tropis”. Sebaiknya guru dapat mengarahkan bagaimana sang anak bisa memanfaatkan data yang bisa ditanya ke Mbah Google, mungkin untuk pemetaan gubernur sesuai tanggal terpilihnya atau bagaimana dampak antibiotika untuk hal lain selain manusia… dan seterusnya. Creativity masih prioritas buncit di negeri ini…
Di bawah ini adalah bagan dari monsterindia.com tentang fokus pembelajaran dari keunikan setiap orang…