Di bawah ini adalah posting komentar saya di dinding Facebook seorang kawan. Saya ingin berbagi secuil pengetahuan bisnis dan industri film global dengan khalayak yang mendukung dan menolak pernyataan jubir pihak 21, Mas Noorca Massardie yang terhormat.
… di dunia ini cuma di Indonesia kelak kalau produksi film nasional 0% tapi sekolah SD ke SMA tetap bayar; cuma di Indonesia senang-senang gratis tapi mau pintar dipungut biaya…
1. bedakan dahulu …pajak (dibayar oleh perusahaan Indonesia) dan bea cukai (dibayar oleh perusahaan asing atau counterpart-nya yg mau berusaha di Indonesia)
2. bedakan juga tahapan film: produksi, distribusi hingga eksibisi (penayangan)
3. bedakan juga produksi dan distribusi film nasional (dibuat oleh perusahaan Indonesia) dan hanya distribusi film asing (dilakukan oleh distributor perusahaan Indonesia kerjasama dengan pihak asing, di sini MPA)
4. bedakan juga antara produk “film” dan produk “mie instan”, yang satu barangnya cuma satu tapi bisa diputar ulang sampai berbulan-bulan tak habis, dan yang satu lagi sekali kunyah habis
Dari pembedaan di atas, harus juga dilihat bahwa di Kanada itu tak ada pajak 0% atas produksi, distribusi (impor atau ekspor) dan eksibisi. Yang ada tax credit atas income si pekerja film, atau refund di akhir tahun atas penghasilannya di satu/beberapa flm setahunnya. (klik sini untuk industri perfilman di Kanada)
Di Malaysia juga berlaku 20% entertainment tax rebate jika film yang dibuat HANYA berbahasa Melayu, Tamil dan China… kalau lebih dari 50% bahasa yg dipakai di film itu bahasa Inggris pajak gak balik tuh 20%. Beritanya di sini.
Yang terjadi di Indonesia itu ada dua hal: pertama adalah bea cukai (yg tidak dipermasalahkan MPA). Yang kedua, pajak usaha yang harus dibayarkan oleh pihak 21, yang produknya bukan indomie itu. Nah, kalau soal aturan bea cukai dan pajak yang dimaksud artikel Mas Hikmat Darmawan ini, silakan cek berita ini.
Sebagai info tambahan lagi, perusahaan distributor rekanan bioskop 21/eksibisi yang juga masih sister company bioskop 21, adalah milik Agus Sudwikatmono dkk. Selain itu Blitz, yang dimiliki putra Arifiin Siregar (ex gubernur BI) ini membeli film juga via perusahaan distribusi 21 karena dia tak bisa langsung ke MPA. MPA cuma mau lihat jaringan 21 yang lebih banyak (volume kontrak yg lebih gemuk) daripada kavling Blitz yang cuma segelintir itu.
Berita pemilik Blitz di sini.
Di artikel ini, pajak film nasional itu memang tetap ada. Dibuat 0% adalah naif. Semua entitas komersial di belahan dunia manapun harus mengembalikan sedikit keuntungannya untuk pemberdayaan industrinya. Permasalahannya kemudian:
1) mungkin seperti “gw bikin tapi gak ada yang mau beli” karena slot masuk ke jaringan 21 itu amat sangat TERBATAS. Lebih baik menekan risiko: daripada membayar royalti ke pengusaha film nasional yang porsinya besar, lebih jelas memperhitungkan retained profit di awal kontrak film box office dan budget movie (satu kontrak tuh paket box office dan budget sekaligus, bukan ketengan eceran membelinya).
2) belum ada perhitungan tax credit bagi pekerja film nasional
3) belum ada kebijakan quota film asing seperti di China
4) belum ada kebijakan ketat “wajib kerjasama anggota MPA” dan produser film nasional (terkait kebijakan kuota)
Dengan pernyataan seorang presiden agar pajak film 0%, beritanya di sini, saya jadi miris mengingat implementasi dan dampak pernyataan pemimpin bangsa ini bakal super duper ribet dan tidak menguntungkan bagi industri itu. No incentives, brur? Industri paling pintar cari jalan bulus loh…