Sebelum tahun ajaran baru 2013-2014, saya sudah mengunduh-unduh materi Kurikulum 2013 (salah satu yang lengkap, 125 halaman pdf, sila klik sini). Ada dua hal yang saya “tangkap” dari materi resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini yang disosialisasikan ke daerah-daerah:
1) Paparan disampaikan mulai dari SWOT analysis, yang IMHO, jika sedetail itu ada baiknya disampaikan di dokumen terpisah. Dokumen kajian SWOT itu adalah pra-penulisan kurikulum, bukan masuk dalam bagian kurikulum. Hal ini untuk menghindari pembahasan yang tidak fokus. Sebagai latar belakang cukup dirangkum dalam 3 kata: masalah internal, eksternal dan pedagogi.
2) Fokus Kurikulum 2013 itu sendiri? Salah satunya adalah SKL atau Standar Kompetensi Kelulusan satuan pendidikan yang menjadi “biang” pemikiran kerangka dasar kurikulum. SKL ini menentukan standar penilaian, isi materi dan proses. Nah, SKL ini terdiri dari 3 domain: Sikap, Keterampilan dan Pengetahuan. SIKAP? Sikap menjadi standar penilaian?
Saya tertarik mengkaji domain Sikap ini. Saya tidak akan membahas materi pedagogi Keterampilan dan Pengetahuan, yang tak menjadi fokus keilmuan saya selama ini.
Dalam paparan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini, Sikap dibagi dalam elemen-elemen proses, individu, sosial, dan alam.
Proses. Menerima -> Menjalankan -> Menghargai -> Menghayati -> Mengamalkan, sebenarnya adalah proses komunikasi standar yang biasa digunakan dunia periklanan: unawareness, top of mind awareness, understanding, trusting, acting/buying as motivation result.
Individu: BERIMAN, BERAKHLAK MULIA (JUJUR, DISIPLIN, TANGGUNG JAWAB, PEDULI, SANTUN), RASA INGIN TAHU, ESTETIKA, PERCAYA DIRI, MOTIVASI INTERNAL.
Sosial: Tolerani, gotong royong, kerjasama, dan musyawarah.
Alam: Pola hidup sehat, ramah lingkungan, patriotik, dan cinta perdamaian.
Sikap Sosial dan Alam? Sungguh ironis sebenarnya kalau kita menonton TV sehari-hari dan menemukan nilai-nilai di atas yang justru berlawanan arah. Kekerasan dan intoleransi ditampilkan dalam setiap pemberitaan dan tayangan sinetron kita. Nilai-nilai pola hidup sehat tergantikan dengan derasnya iklan makanan suplemen dan instan. Goverment failure? Mungkin, tapi mari kita kaji dulu Kurikulum 2013 dalam substansi “Sikap” ini.
Fokus Sikap Individu ini menarik buat saya kritisi lebih lanjut. Dalam kehidupan sehari-hari, menilai sikap itu sangatlah subyektif. Kreativitas anak menggambar di tembok rumah bisa menjadikan orangtuanya menuduh sang anak “mengotori rumah”. Sebagai bagian dari SKL, taruhlah 30% dari bobot penilaian kelulusan murid, bagaimana akhirnya menerjemahkannya dalam proses ajar-mengajar?
ADHD adalah satu gejala perilaku anak yang mungkin tidak sesuai dengan norma-norma sikap yang dimaksud Kurikulum 2013 ini. Anak dengan ADHD kemudian tidak boleh lulus walau IQ mereka tinggi dan minat terhadap pengetahuan sangat luar biasa? (klik di sini untuk kajian ADHD dan inteligensi tinggi, dan di sini untuk artikel BBC “ADHD is not a bad behaviour”).
Saya kemudian mempelajari lagi secara cepat bagaimana negara-negara yang memiliki rating tinggi dalam dunia pendidikan global ini merumuskan dan mengkaji kurikulumnya dari periode ke periode. Beberapa negara yang dirating Pearson per 2012 dinyatakan memiliki sistem pendidikan dan kurikulum dengan “budaya belajar” yang kuat. Finlandia dan Korea Selatan menduduki tempat teratas.
For education and learning:Why Finland is #1 ?
“Finland's school kids enjoy a laid-back and
inclusive learning environment where shoes are optional,
all teachers have master's degrees, and
extra help is the norm: every year about one
in three students gets individual time with a tutor”
(Newsweek).
- Murid (bahasa, minat, psikologi, suasana rumah)
- Guru (fokus keahlian dan kemampuan, kreativitas)
- Alat perangkat (buku manual hingga jaringan wifi, komputer, TV)
- Geografi (lokasi sekolah, infrastruktur jalan, transportasi)
- Kekhasan Materi (eksakta, non-eksakta, hiburan dan kinetik/gerak anak)
Saya tidak memasukkan dimensi “pemerintah” baik pusat atau daerah, karena obyek dari kebijakan ini hanyalah 5 (lima) dimensi di atas. Pemerintah adalah pembuat kebijakan, dan kajian terkait kurikulumnya harus dipisahkan dari pembuat kebijakannya (baca: “policy analysis” bukan “curriculum analysis”). Paparan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih melihat kendala-kendala pemerintah (anggaran dan pelaksanaan programnya) sebagai bagian kurikulum.
Saran saya sekali lagi: fokus pada kurikulum dan 5 Dimensi Pendidikan-Pengajaran di atas. Dengan fokus pada paradigma “reformasi” bukan SWOT, hasil yang lebih komprehensif dari pelaksanaan kurikulum dari periode ke periode bisa lebih terukur. Untuk itu pula diperlukan alat analisis dari setiap dimensi. Klik sini untuk contoh Physical Education Curriculum Analysis Tools di Amerika Serikat, dan klik sini untuk contoh kajian pakar sebagai masukan kurikulum yang transparan di Inggris. Untuk kajian dari Finlandia (berbahasa Inggris), silakan klik sini untuk pendidikan early childhood, dan klik sini untuk upper secondary, dan klik sini untuk tertiary school. Lebih luas lagi, ada beberapa kajian Uni Eropa terkait school reform atau reformasi sekolah di negara-negara anggota Uni Eropa tahun 2010 (Dokumen “100 Years of Educational Reforms in Europe: a contextual database”, klik sini).