Resesi sudah datang di salah satu pusat perdagangan dunia terbesar, Amerika Serikat, karena kredit macet di saat pembeli rumah di sana tak mampu mengembalikan cicilan. Ditambah lagi pola hidup debt diet yang dianjurkan Oprah Winfrey itu tak mampu membendung nafsu konsumerisme warga Amerika Serikat. Tambah runyam lagi saat government spending sana disedot untuk membiayai tentara perang, bukan membangun pabrik dan jalan. Produksi stagnan, konsumsi tinggi, tak ada surplus ekspor impor yang signifikan.
Presiden negara itu, yang banyak dinilai error oleh rakyatnya, minggu lalu menandatangani Emergency Economic Stabilization Act, alias peraturan gawat darurat untuk perekonomiannya. Disebutkan di sana bahwa pengawas bursa (SEC, stock exchange commission) harus berkoordinasi dengan bank sentral dan departemen keuangan untuk membuat mark-to-market accounting, dan harus melaporkan kembali ke kongres dalam 90 hari ke depan. Lehman Brothers/LB dan Fannie Mae Freddy Mac, Wachovia dan Wells Fargo, are strictly supply-demand thing. Institusi finansial ini tak punya masalah “pabrik macet” atau “kehabisan bahan produksi” karena memang mereka hanya usaha jasa: menyalurkan uang untuk mendapatkan keuntungan nilai. Di saat uang tersebut tidak kembali lagi, alias kredit macet, maka nilai keuntungan itu tidak kunjung datang malah kemudian membuat lubang kian lebar. LB sebagai satu usaha finansial terbesar keempat di Amerika Serikat menyiapkan sekoci namun terlambat. Di saat tak ada yang mau membeli aset “bodong” LB, tak ada jalan untuk spin off some of its toxic assets to shareholders.
Apes, LB kemudian menyatakan diri bangkrut, di saat itu pula Amerika Serikat dan dunia guncang. Salah satu dampaknya, jelas 26 ribu pegawai LB akan kehilangan pekerjaan. Selain itu juga investor dunia mulai menahan diri untuk menanamkan uangnya di institusi finansial Amerika Serikat, alias tak ada investasi masuk ke negara adidaya ini. Ekspor ke Amerika Serikat akan terhenti karena membebani anggaran mereka. Akhirnya tak ada uang untuk membangun jalan dan pabrik dan infrastruktur produksi dalam negeri, karena harus menggelontorkan AS$700 milyar untuk menyelamatkan institusi finansial bermasalah (tak hanya LB saja loh!).
Bayangkan dampak bola salju yang akan menghajar negara adidaya ini. Titik henti bola salju itu ada pada saat: LB tak ada yang mau beli. Nasib serupa sedang menghantui institusi finansial lain seperti Merrill Lynch & Co Inc., sehingga pemerintah negara-negara Eropa segera menjamin bahwa tabungan warganya aman di bank lokal mereka. Kalau Indonesia kemudian ikut-ikut panik dan banyak pakar bilang “Hey, harus ada rencana antisipatif untuk ini!”, kok saya melihatnya seperti semut teriak di tengah gajah-gajah kebakaran jenggot ya? Hehehe…