RSS

Arsip Kategori: efisiensi

Infrastruktur


Setelah sekian lama tidak update blog ini, malam ini timbul kangen menulis tanpa dibayar 🙂

Beberapa presentasi saya di Slideshare.net telah dilihat dan diunduh beberapa kali. Hanya satu yang hari ini saya buka untuk diunduh, yaitu tentang “Telco & Media in Indonesia“. Bahan presentasi saya di kelas “Bisnis dan Industri Televisi” ini banyak diunduh tak hanya kalangan mahasiswa, tapi juga pebisnis… bahkan pebisnis telekomunikasi dari Norwegia! (FYI: Slideshare membolehkan siapa saja mengunduh slide asal kita mendaftar sebagai anggota Slideshare, dan kebanyakan kita menggunakan nama asli untuk bahan *serius*).

Kembali ke pebisnis telekomunikasi. Saya takjub dengan presentasi Hans Rosling di Ted.com beberapa waktu lalu. Rosling mampu menyajikan presentasi tentang statistik yang mudah dicerna. Presentasi saya tentang Telco (telecommunications company) dan Media di Indonesia itu sesungguhnya terinspirasi dari Rosling; bagaimana saya bisa menjejerkan dua sektor berbeda di era 1990-an dan batasan keduanya menjadi sumir hari ini. Yang lebih terpenting lagi, bagaimana saya melihat buruknya infrastruktur berbanding dengan kapasitas kemampuan negara ini, dibanding negara tetangga, Malaysia.

Saya yakin pemerintah masih punya niat baik untuk meneruskan Proyek Palapa Ring dan jalur kabel serat optik bawah laut Australia – Indonesia – Jepang, daripada selalu bottleneck di Singapura. Kedua proyek multiyears, multiplatform ini seharusnya lebih prioritas dari gedung wakil rakyat atau proyek-proyek renovasi fasilitas ini itu yang tak terkait langsung dengan kemaslahatan rakyat. Jika rakyat makmur, yakinlah pemerintah bisa merevisi kantornya di Planet Mars sekalipun.

Terakhir, pebisnis Eropa pun tak punya data akurat tentang industri telekomunikasi dan media di Indonesia hingga harus percaya saja dengan presentasi saya ke mahasiswa… *just kidding, guys*

 

Film Nasional vs. Film Asing


Di bawah ini adalah posting komentar saya di dinding Facebook seorang kawan. Saya ingin berbagi secuil pengetahuan bisnis dan industri film global dengan khalayak yang mendukung dan menolak pernyataan jubir pihak 21, Mas Noorca Massardie yang terhormat.

… di dunia ini cuma di Indonesia kelak kalau produksi film nasional 0% tapi sekolah SD ke SMA tetap bayar; cuma di Indonesia senang-senang gratis tapi mau pintar dipungut biaya…

1. bedakan dahulu …pajak (dibayar oleh perusahaan Indonesia) dan bea cukai (dibayar oleh perusahaan asing atau counterpart-nya yg mau berusaha di Indonesia)
2. bedakan juga tahapan film: produksi, distribusi hingga eksibisi (penayangan)
3. bedakan juga produksi dan distribusi film nasional (dibuat oleh perusahaan Indonesia) dan hanya distribusi film asing (dilakukan oleh distributor perusahaan Indonesia kerjasama dengan pihak asing, di sini MPA)
4. bedakan juga antara produk “film” dan produk “mie instan”, yang satu barangnya cuma satu tapi bisa diputar ulang sampai berbulan-bulan tak habis, dan yang satu lagi sekali kunyah habis

Dari pembedaan di atas, harus juga dilihat bahwa di Kanada itu tak ada pajak 0% atas produksi, distribusi (impor atau ekspor) dan eksibisi. Yang ada tax credit atas income si pekerja film, atau refund di akhir tahun atas penghasilannya di satu/beberapa flm setahunnya. (klik sini untuk industri perfilman di Kanada)

Di Malaysia juga berlaku 20% entertainment tax rebate jika film yang dibuat HANYA berbahasa Melayu, Tamil dan China… kalau lebih dari 50% bahasa yg dipakai di film itu bahasa Inggris pajak gak balik tuh 20%. Beritanya di sini.

Yang terjadi di Indonesia itu ada dua hal: pertama adalah bea cukai (yg tidak dipermasalahkan MPA). Yang kedua, pajak usaha yang harus dibayarkan oleh pihak 21, yang produknya bukan indomie itu. Nah, kalau soal aturan bea cukai dan pajak yang dimaksud artikel Mas Hikmat Darmawan ini, silakan cek berita ini.

Sebagai info tambahan lagi, perusahaan distributor rekanan bioskop 21/eksibisi yang juga masih sister company bioskop 21, adalah milik Agus Sudwikatmono dkk. Selain itu Blitz, yang dimiliki putra Arifiin Siregar (ex gubernur BI) ini membeli film juga via perusahaan distribusi 21 karena dia tak bisa langsung ke MPA. MPA cuma mau lihat jaringan 21 yang lebih banyak (volume kontrak yg lebih gemuk) daripada kavling Blitz yang cuma segelintir itu.

Berita pemilik Blitz di sini.

Di artikel ini, pajak film nasional itu memang tetap ada. Dibuat 0% adalah naif. Semua entitas komersial di belahan dunia manapun harus mengembalikan sedikit keuntungannya untuk pemberdayaan industrinya. Permasalahannya kemudian:
1) mungkin seperti “gw bikin tapi gak ada yang mau beli” karena slot masuk ke jaringan 21 itu amat sangat TERBATAS. Lebih baik menekan risiko: daripada membayar royalti ke pengusaha film nasional yang porsinya besar, lebih jelas memperhitungkan retained profit di awal kontrak film box office dan budget movie (satu kontrak tuh paket box office dan budget sekaligus, bukan ketengan eceran membelinya).
2) belum ada perhitungan tax credit bagi pekerja film nasional
3) belum ada kebijakan quota film asing seperti di China
4) belum ada kebijakan ketat “wajib kerjasama anggota MPA” dan produser film nasional (terkait kebijakan kuota)

Dengan pernyataan seorang presiden agar pajak film 0%, beritanya di sini, saya jadi miris mengingat implementasi dan dampak pernyataan pemimpin bangsa ini bakal super duper ribet dan tidak menguntungkan bagi industri itu. No incentives, brur? Industri paling pintar cari jalan bulus loh…

 

Tag: , ,

Perlukah UU Penyiaran Dilebur dengan UU Telekomunikasi?


Jawabannya ada di pasal-pasal awal setiap undang-undang.

Secara normatif, mengatur penyiaran adalah mengatur perizinan yang terkait dengan kepemilikan dan isi siaran dari radio dan televisi tradisional. Secara normatif juga, undang-undang telekomunikasi mengatur alokasi frekuensi segala lapis hingga masalah teknologi telekomunikasi dan inovasinya yang bergerak sangat cepat. Saat membaca berita (klik sini) bahwa alasan peleburan kedua undang-undang ini adalah konvergensi digital, saya bergumam, “Kok naif amat ya?”

Jika alasan peleburan itu adalah banyaknya aturan di dalam kedua undang-undang itu tidak jalan, mungkin saya akan maklum. Karena:

  1. Aturan yang tidak jalan, atau ada aturan tapi tak ada “kelenjar keringat” (baca: “sanksi”) yang membuat jera para pelanggar aturan, bukankah lebih baik dibuat aturan baru yang lebih efisien? Untuk apa ada Perda 1 Tahun 1988 di DKI Jakarta kalau semua orang buang sampah di mana saja tak ada yang menindak?
  2. Isu-isu di seluruh pelosok negeri ini sejak Reformasi 1988 hingga hari ini masih sama:
    • tidak meratanya infrastruktur penyiaran atau telekomunikasi (hanya ada di daerah padat saja?)
    • isi siaran semakin tidak memperhatikan asas “kenyamanan semua orang menonton”
    • pengaturan perizinan belum satu atap, terkesan malah menjadi kian ruwet
    • regulator di daerah kian tak tahu bagaimana seharusnya mengatur daerahnya (karena banyak aturan yang saling tabrakan, seperti PP 38/2007 dengan UU 32/2004 dengan asas di atasnya lagi: otonomi daerah untuk kemaslahatan daerah)

Dengan segala keterbatasan saya tentang peraturan perundangan hingga tata negara, saya berandai-andai jika kedua undang-undang ini dilebur:

  1. Ada atau tak ada komisi baru yang mungkin bernama “Komisi Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia”, yang mungkin “melapor ke presiden via Departemen Kominfo”. Mungkin agak aneh, karena sebuah komisi bentukan undang-undang harus melapor ke sebuah departemen yang dibentuk oleh keppres? Untuk hierarki peraturan perundangan silakan baca Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan.
  2. Regulasi semua akan tersentralisasi; semua dipantau lagi dari Jakarta dan semua pemain di industri ini harus melapor dan mengurus perizinan ke Jakarta lagi. A very high cost economy?
  3. Kalaupun ada badan tambahan untuk pengurusan di daerah, tentulah harus menunggu setahun dua untuk pengesahan lembaga dari Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (karena komisi ini ‘kan lapor ke Menteri Kominfo, bukan?)
  4. Jika lembaga yang mengatur tidak jelas bentuk dan fungsinya selama beberapa waktu, yang terjadi mungkin ada ketidakpastian hukum, atau lawlessness, atau masa vakuum lagi seperti saat UU Penyiaran 1997 direvisi menjadi UU Penyiaran 2002.
  5. Penyiaran yang punya dimensi teknis (frekuensi, kabel, satelit, teknologi HDTV, dst) dan dimensi non-teknis (isi siaran). Khusus non-teknis, tentu pengaturannya harus lepas dari kepentingan-kepentingan rejim yang ada. Kebebasan memperoleh dan mendistribusikan informasi dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945 Amandemen Keempat, Pasal 28F. Kalau diatur oleh Pemerintah, apa kata dunia?

DE JA VU… kapan kita pernah belajar dari masa lalu sih?

 

Media Mlintir Susu?


Saya suka heran mengapa media kita suka sekali mengeksploitasi hasil penelitian dari satu sisi. Bahkan klarifikasi hari ini dari Ikatan Dokter Indonesia juga tak cukup kuat memlintir balik.

Tadi siang di salah satu radio di Jakarta sang penyiar menyitir bagaimana jika tak hanya susu bayi di bawah 1 tahun; bagaimana jika susu lansia juga mengandung bakteri enterobacter sakazakii? Saya pribadi merasa terpaan udara di Jakarta setiap hari bagi pengendara motor lebih mematikan daripada bakteri tersebut bagi orang dewasa.

***

Di saat tidak ada berita heboh (gempa berkekuatan di atas rata-rata atau koruptor meninggal misterius di tahanan, misalnya) terkadang media massa kita suka mengambil berita fantastis a la batik (bakso tikus) atau apapun yang merugikan konsumen. Juicy ‘eh?

Saya curiga efek salju berita susu bakteri ini diawali minggu lalu dari posting beberapa blog wordpress (mengutip artikel serupa sebangun) soal susu bakteri yang mendapat ketukan (hit) tertinggi (karena saya juga ikut nge-klik). Banyak yang mempertanyakan merek susu dan makanan bayi apa yang tercemar bakteri enterobacter sakazakii. Jurnalisme orang awam ini menyebar secara efektif efisien. Yang lebih hebat lagi:

  • tak banyak mungkin yang kemudian mencari informasi lebih lanjut dengan kata kunci “Enterobacter Sakazakii” yang ternyata ditemukan oleh peneliti Jepang bernama Riichi Sakazaki (1980) ;
  • tak ada yang kemudian mengambil hipotesis lain selain masalah “korporasi dan pemerintah yang tak bertanggungjawab”; mungkinkah diplintir menjadi hipotesis “adakah persaingan usaha tak sehat?”

Bayangkan, bakteri yang sama ini memang pernah terjadi di Eropa tahun 2002 soal produk Nestle di Belgia, Beba1. Merek susu ini dituduh menjadi pembunuh sorang bayi yang baru lahir. Salah siapa, bayi baru lahir diberi susu instan? Jika diberi pun selayaknya sepengetahuan dokter bukan? Sehingga masalah yang terjadi adalah kompleks dan lebih banyak human error dari pihak orang tua dan dokter sang bayi.

Kembali ke isu susu bayi ini, bayangkan ada sebuah penelitian dengan sampling kecil (yang mungkin bisa memiliki epsilon atau kesalahan sampling besar) serta tidak memiliki lampiran kajian lengkap tentang manfaat dan keburukan bakteri ini (atau wartawannya malas membuka lampiran?). Kemudian penelitian ini diekspos ke media massa sehingga menjadi konsumsi masyarakat umum. Salah siapa jika kemudian bergulir panik?

Bukan seperti panik orang tua di Belgia, karena di sini belum ada (dan jangan sampai ada) korban. Panik susu berbakteri mematikan ini seperti siklus semesteran. Namun yang lebih penting masyarakat jangan panik dulu. Sebaiknya pemerintah segera memberikan pernyataan resmi yang bisa menenangkan orang tua yang memiliki bayi baru lahir. Yang lebih baik lagi, wahai penyiar radio dan penulis blog, mohon kaji dulu semua aspek penelitian ini sebelum panik (atau membuat orang lain panik).

Mungkin memang ada saatnya satu generasi di negeri ini harus pasrah dengan air tajin. Which is good also, btw. However, I don’t have energy to find out any related studies on air tajin, sorry. I drink milk everyday, and I feel dizzy for ten or more minutes afterwards, why? I just hate its taste.

susu.jpg

 

Dimensi Korupsi


Tak perlu tanyakan apa akibatnya, tak perlu tanyakan berapa besar. Penyebabnya jelas: kesempatan dan tak adanya integritas. Hari ini saya disodori “uang transportasi” karena membantu memberi pengetahuan secara informal. No pun intended, saya hanya anggap dia tak tahu bahwa saya dibayar lebih mahal (dari sejumlah uang yang ingin ia berikan itu) jika saya memberikan paparan formal. Saya menolak halus, “Traktir saya kalau satu hari saya berada di kota Bapak.”

Pendekatan formal-legal mengenal bahwa tindakan korupsi adalah tindakan yang melanggar “specific rules governing the way public duties should be performed” (Williams 1987: 15), sebagai “pertukaran ilegal” antara barang politis dengan barang/hadiah pribadi (Manzetti & Blake 1996; Heidenheimer, Johnston & LeVine 1989: 8-9; Williams 1987: 15-16). Hukum (rules) itu sendiri bisa ambigu, tak jelas, multi-interpretatif (Lowenstein 1989). Pendekatan legal-formal juga dinamis dari satu negara ke negara lain, dan terkadang tindakan ini menjadi tindakan manipulatif dari aktor politik (Williams 1987: 18). Bisa juga definisi legal berupa tindakan yang tidak ilegal tapi ternyata dianggap tidak pantas (Moodie 1989: 876; Theobald 1990: 17).

Sandholtz & Koetzle (1998) pernah mengkaji dimensi korupsi dalam 2 hal:

  • “structure of opportunities and incentives” dan
  • “culture, [or] understood as a “repertoire of cognitions, feelings, and schemes of evaluation that process experience into action”

Yang kedua merupakan budaya yang melahirkan integritas yang bisa terbentuk sejalan dengan:

  • matangnya pemikiran setiap warga negara tentang demokrasi, dan
  • freedom of economy (atau saya terjemahkan sebagai) kesejahteraan ekonomi dan sosial setiap warga negara.

Khusus di Indonesia, saya ingin mengkaji lebih jauh dari dari sekadar integritas: informasi asimetris. Saya mengambil contoh peristiwa pagi ini. Ada informasi asimetris antara saya dan sang bapak yang ingin memberikan uang tadi. Tak hanya sebatas pengenalan antar-diri secara sepihak (saya mendapat informasi tentang dia lebih banyak dari dia tentang saya), tapi juga tentang pengetahuan empiris yang berbeda antara dia dan saya. Sesungguhnya internet telah memudahkan kita berilmu dengan murah, dan yakinlah bapak tersebut adalah bukanlah orang yang rajin nge-blog. Baca di sini untuk paparan UNDP dan di sini untuk kajian Center for the Study of Democracy yang pokok pemikirannya saya kutip di atas (See? I am not that witty, I just read a bit more than him)

Atau baca di sini untuk tulisan karya Bosserman (2005)… lihat bagan di bawah.

affiliation-corruption.jpg