Saya suka heran mengapa media kita suka sekali mengeksploitasi hasil penelitian dari satu sisi. Bahkan klarifikasi hari ini dari Ikatan Dokter Indonesia juga tak cukup kuat memlintir balik.
Tadi siang di salah satu radio di Jakarta sang penyiar menyitir bagaimana jika tak hanya susu bayi di bawah 1 tahun; bagaimana jika susu lansia juga mengandung bakteri enterobacter sakazakii? Saya pribadi merasa terpaan udara di Jakarta setiap hari bagi pengendara motor lebih mematikan daripada bakteri tersebut bagi orang dewasa.
***
Di saat tidak ada berita heboh (gempa berkekuatan di atas rata-rata atau koruptor meninggal misterius di tahanan, misalnya) terkadang media massa kita suka mengambil berita fantastis a la batik (bakso tikus) atau apapun yang merugikan konsumen. Juicy ‘eh?
Saya curiga efek salju berita susu bakteri ini diawali minggu lalu dari posting beberapa blog wordpress (mengutip artikel serupa sebangun) soal susu bakteri yang mendapat ketukan (hit) tertinggi (karena saya juga ikut nge-klik). Banyak yang mempertanyakan merek susu dan makanan bayi apa yang tercemar bakteri enterobacter sakazakii. Jurnalisme orang awam ini menyebar secara efektif efisien. Yang lebih hebat lagi:
- tak banyak mungkin yang kemudian mencari informasi lebih lanjut dengan kata kunci “Enterobacter Sakazakii” yang ternyata ditemukan oleh peneliti Jepang bernama Riichi Sakazaki (1980) ;
- tak ada yang kemudian mengambil hipotesis lain selain masalah “korporasi dan pemerintah yang tak bertanggungjawab”; mungkinkah diplintir menjadi hipotesis “adakah persaingan usaha tak sehat?”
Bayangkan, bakteri yang sama ini memang pernah terjadi di Eropa tahun 2002 soal produk Nestle di Belgia, Beba1. Merek susu ini dituduh menjadi pembunuh sorang bayi yang baru lahir. Salah siapa, bayi baru lahir diberi susu instan? Jika diberi pun selayaknya sepengetahuan dokter bukan? Sehingga masalah yang terjadi adalah kompleks dan lebih banyak human error dari pihak orang tua dan dokter sang bayi.
Kembali ke isu susu bayi ini, bayangkan ada sebuah penelitian dengan sampling kecil (yang mungkin bisa memiliki epsilon atau kesalahan sampling besar) serta tidak memiliki lampiran kajian lengkap tentang manfaat dan keburukan bakteri ini (atau wartawannya malas membuka lampiran?). Kemudian penelitian ini diekspos ke media massa sehingga menjadi konsumsi masyarakat umum. Salah siapa jika kemudian bergulir panik?
Bukan seperti panik orang tua di Belgia, karena di sini belum ada (dan jangan sampai ada) korban. Panik susu berbakteri mematikan ini seperti siklus semesteran. Namun yang lebih penting masyarakat jangan panik dulu. Sebaiknya pemerintah segera memberikan pernyataan resmi yang bisa menenangkan orang tua yang memiliki bayi baru lahir. Yang lebih baik lagi, wahai penyiar radio dan penulis blog, mohon kaji dulu semua aspek penelitian ini sebelum panik (atau membuat orang lain panik).
Mungkin memang ada saatnya satu generasi di negeri ini harus pasrah dengan air tajin. Which is good also, btw. However, I don’t have energy to find out any related studies on air tajin, sorry. I drink milk everyday, and I feel dizzy for ten or more minutes afterwards, why? I just hate its taste.
bsw
Februari 28, 2008 at 9:33 am
Seandainya rakyat kita cukup bijak ketika menerima informasi, mungkin nggak seheboh ini ceritanya. Mungkin juga kalo pemerintah kita (menkes & juga Badan POM) bisa memberi keterangan yg menyejukkan, sebagian masyarakat juga nggak akan seheboh ini.
Jadi inget waktu gempa Jogja kemarin, ada yg jadi korban justru karena isu tsunami (akibat tabrakan atau korban gempa yg nggak sempat ditolong gara2 orang2 lari gara-gara takut tsunami)
Sedih kalo sebagian masyarakat sama sebagian pemimpinnya nggak bijak begitu….
dobelden
Februari 28, 2008 at 10:27 am
duh judulnya 😐
media kita sih sukanya heboh duluan…. clear masalah urusan lain 😐
abiehakim
Februari 28, 2008 at 3:51 pm
Kalaupun ini hanyalah sebuah kepentingan bisnis, alangkah nistanya jalan yang ditempuhnya. Sebenarnya kalaupun ada kepanikan saya berpikir hanya terjadi di masyarakat perkotaan saja, yang rata2 para ibu2nya menjadi wanita karier. Jadi ya kita tunggu aja deh apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk meredam isu ini.
tasmerah
Februari 28, 2008 at 4:30 pm
yah,.. begitulah Media sekarang Mba..
mungkin baru melakukan fungsinya sebagai alat kontrol sosial.
pada dasrnya kan media pengen berpihak kepada masyarakat dan mengontrol pemerintah,…
tapi prinsipnya sama kok..”BAD NEWS IS GOD NEWS”
Salam kenal!!
CY
Februari 28, 2008 at 4:52 pm
Mbak.., Udah baca blom ttg apa yg bisa disebabkan oleh bakteri tsb di sini…
http://www.cfsan.fda.gov/~dms/inf-ltr3.html
Mila
Februari 28, 2008 at 5:40 pm
CY: “In light of the epidemiological findings and the fact that powdered infant formulas are not commercially sterile products, FDA recommends that powdered infant formulas not be used in *neonatal intensive care settings* unless there is no alternative available.” (paragraf keenam sebelum penutup)
Kesimpulannya, bayi normal itu tak apa minum susu kaleng kalau ibunya tidak/belum keluar ASI-nya. Hanya bayi kelainan organ sejak janin, atau bayi prematur atau kuning (sama, kuning itu pertanda usianya kurang) yang masuk ke bagian ICU yang tak boleh minum susu formula sembarangan. Setahu saya memang ada tuh susu low-lactose khusus bayi neonatal (baru lahir) yang masuk perawatan khusus.
Sesungguhnya, pada akhirnya, panik itu memang tak perlu ada. Sekarang buat bapak-bapak yang mau punya bayi atau bayinya belum setahun, ada baiknya konsultasi intensif dengan dokter keluarga (dokter yang bisa dipercaya). Saya sarankan juga memang memilih dokter itu juga hati-hati. Banyak yang matere’… eks dekan kedokteran Unair pernah bisiki saya, “Cari dokter yang dekat dengan universitas, agar update ilmunya.”
Mudah-mudahan berguna.
rivafauziah
Februari 28, 2008 at 7:44 pm
ASI – Susu tersehat
julfan
Februari 28, 2008 at 9:03 pm
Susu itu kan bukan makanan pokok. Itukan hanya tambahan. Seandainya ibu2 faham bahwa asi itu lebih baik, tentu saja kejadiannya tak serepot sekarang ini.
Gitu aja kok repot.
Arsyad Salam
Februari 29, 2008 at 4:19 pm
media sekarang kadang suka bikin sensasi
Irwin Day
Maret 3, 2008 at 9:39 am
Beginilah kalau medianya lebih mementingkan sensasi daripada informasi.
ali
Maret 25, 2008 at 3:10 pm
Poor indonesian