RSS

Arsip Kategori: broker

Balai Penelitian Padi: A Chorus of Failures


Hari ini adalah hari “karya wisata” buat ketiga anak saya. Kami sekeluarga mengunjungi Mbah Bibi (tante dari suami saya) di Desa Sukamandi, tepatnya di kompleks para peneliti padi.

Hijau royo-royo, mendung, angin cukup sepoi-sepoi (walau sedikit lembab dibanding Jakarta seminggu terakhir ini), membuat suasana desa kian nyaman. Burung bangau di danau menyambut kedatangan kami, dan empat anak desa mencungkil-cungkil selokan tertawa-tawa saat kami mengayuh sepeda keliling kompleks.

Fajar, Abi, Dedeh dan Uki sedang mencari keong mas, yang telurnya berwarna merah jambu keren menempel di banyak bebatuan dan ranting di sekitar danau. Keong itu untuk dimakan sebagai kemilan mereka. Menjelang siang, anak muda-mudi berpasang-pasangan duduk-duduk di pinggir danau. Kian banyak menjelang sore.

Anak saya yang terkecil menemukan anak kucing di tengah jalan menuju kantor Balitpa (Balai Penelitian Padi) dan memberi makan hingga menyiapkan kardus untuk tidur. Yang lain mencoba memancing, melihat peternakan sapi yang becek, mengangon kambing dan banyak hal yang tak mungkin dilakukan di Jakarta.

paddy.jpg

Yang lebih banyak belajar dari karya wisata hari ini sesungguhnya adalah saya. Bagaimana padi, apa saja jenisnya, dan segala kesulitan struktural yang tak akan habis diceritakan sehari. Mbah cerita, “Untung dulu kita bisa disekolahkan ke Amerika hingga PhD, sekarang mah peneliti mudah kita hanya mentereng berpakaian. Mereka tak dapat kesempatan bagus seperti dulu, bahkan program kerja riset anggarannya tak memadai.” Government failure number one.

Belum lagi cerita “calo” yang membeli padi dari petani dengan harga sangat rendah, dengan cara memarkir truk-truk di sepanjang sawah; memaksa petani menaikkan semua hasil panennya. Ada lagi soal “mark up” jumlah panen demi kepentingan atasan atau partisan (ini cerita agak panjang sendiri, nantilah). Padi dalam pot juga merupakan satu hal yang hiperbolistik, karena liputan Tabloid Nova terakhir tidak menghitung pot yang kena hama, yang mandul, dan seterusnya. Kalau ini memang market failure yang harus segera diatasi dengan penertiban agar tak ada tambahan government failure.

Yang paling menarik adalah masalah informasi asimetris. Satu hal tentang reformasi segala bidang, adalah hilangnya relai wajib RRI pukul 8 malam tentang harga bahan pokok termutakhir. Saya ingat dahulu laporan cabe dan bawang di semua radio ini bisa menjadi bahan ledekan di sekolah: “Ade kriting seribu, Danang merah dua ribu.” Bagaimana informasi asimetris antara petani dengan pembeli beras (atau bahan pokok lain) bisa dimanfaatkan oleh “calo” hari ini. Government failure number two?

Perjalanan pulang, lubang menganga dalam sepanjang Jalan Raya Sukamandi bisa merontokkan mobil jika tidak hati-hati. Sudah sebulan ini jalan tersebut rusak, walau belum separah yang ada di halam satu Kompas pagi ini. Another government failure?

Anak-anak muda hampir setiap hari duduk-duduk di pinggir danau. Mereka menjadi sangat konsumtif akhir-akhir ini. Orang tua mereka pekerja tani atau pedagang pasar yang rela makan sekali sehari demi membayar kredit motor. Anak dibelikan telepon genggam untuk menghabiskan pulsa mengetik SMS berisi “reg spasi hadiah bayar sendiri”. Bensin dan pulsa menjadi makanan wajib anak muda di sana. Saya meledek, “Kurang banyak PR dari sekolahnya, ya?” Banyak anak muda ini akhirnya tak lagi rela bertani atau berdagang. Ada dari mereka (bahkan cukup besar jumlahnya) akhirnya terjun ke dunia asusila. Jika memang pendidikan masih nomor sekian setelah biaya gedung dan beli mobil dinas baru, tentulah ini government and legislative failures altogether!

Ternyata karya wisata kali ini bukan hanya anak saya yang mendapatkan pelajaran tentang dunia.