Pak Wapres Jusuf Kalla mengangkat topik “jagung lebih untung dari kedelai di mata petani kita”, tapi adalah tugas pemerintah untuk mengatur produksi hingga lalu-lintas distribusi pangan di negeri ini. Gagal pasar telah terjadi (konsumsi masyarakat tinggi, tapi pasokan dari pengrajin tahu-tempe mencapai titik nol). Pemerintah telah mengambil sikap cepat dengan memberlakukan bea masuk (BM) impor kacang kedelai menjadi nol.
Bea masuk sama dengan nol adalah satu kebijakan pemerintah yang “memotong pucuk daun permasalahan” karena masih banyak instrumen kebijakan yang bisa diambil agar isu kedelai ini memiliki penyelesaian yang berkelanjutan (sustainable).
Mari memulai pemikiran “penyelesaian berkelanjutan” dari sini:
- Kita sudah memiliki pusat penelitian dan pengembangan tanaman pangan di Bogor (ini temuan informasi via situsnya).
- Kita juga memiliki tanah luas untuk pengembangan yang tak hanya di Jawa. Banyak putra daerah yang tak kalah cerdas, tapi keterbatasan informasi dan koordinasi yang menghambat langkah mereka (ini temuan empiris).
- Again, people respond to incentive. Apakah masalah utama dari penelitian (dan pengembangan) kedelai ada di porsi anggaran negara atau daerah? (maaf, ini masih asumsi, mengingat hingga hari ini pos-pos anggaran masih besar di belanja mobil dinas dan perbaikan gedung pemerintahan ketimbang pembangunan infrastruktur yang bisa jadi multi-years, alias agak rumit sedikit).
- Impor kedelai di Indonesia mencapai 1.117.790 metrik ton di tahun 2004; dan duduk dalam ranking ke-10 dunia setelah Korea Selatan (8) dan Thailand (9). Indonesia tidak masuk dalam 20 besar pengekspor kedelai. Salah satu alasannya adalah kualitas yang kalah bersaing dengan importir lain.
- China masih menduduki posisi pengimpor teratas dengan jumlah 20.229.967 metrik ton setahun. China, sebaliknya, mengekspor 334.560 metrik ton di tahun yang sama.
- Malaysia adalah pengekspor nomor 17 (dengan 11.216 metrik ton) tapi pengimpor nomor 15 (dengan 1.044.142 metrik ton) yang berarti masih di bawah Indonesia.
- Dua pengekspor terbesar dunia: Amerika Serikat (25.602.609 metrik ton) dan Brazil (19.247.690 metrik ton) tidak masuk dalam 20 negara pengimpor dunia.
Hari ini kita memang masih pusing dengan “jagung opo ‘dele” sedangkan dunia sudah bergerak untuk meningkatkan kuantitas ekspor biji kedelainya. Harap diingat pula bahwa kualitas tanaman (baca: bioteknologi) menjadi satu pertimbangan mengapa pengrajin tahu tempe kita memilih kedelai impor. Penerapan bioteknologi adalah istilah baru di negeri yang miskin insentif penelitian ini (baca: anggaran negara).
Quantity and quality, they go hand in hand. Devilish as it sounds, the government must cut to the chase: comprehensive soya incentives–not just temporary relaxed tariff.
(maaf ini ungkapan dalam hati yang tak bisa saya terjemahkan)
BM nol atau subsidi bisa menjadi awal; sebagai kelanjutannya, pilihan moratorium adalah untuk memproteksi petani dan pengrajin kedelai; namun yang paling utama adalah paket insentif yang komprehensif. Mekanisasi produksi juga penting (faktor teknis) selain pengembangan bioteknologi (faktor riset). Paket insentif ini juga meliputi dari:
- penelitian yang kian intensif (dengan anggaran yang memadai),
- distribusi informasi ke seluruh pelosok tanah air (informasi simetris sebagai faktor orkestrasi pertumbuhan), hingga
- penerapan dan pengawasan ke seluruh pelosok (sekali lagi ini adalah seputar anggaran negara).
Insentif menjadi faktor penting untuk mendongkrak competitive advantage seiring sejalan dengan produktivitas kedelai negeri ini. Hal ini disebabkan karena setiap negara yang memiliki peringkat competitive advantage yang baik juga bergerak di seputar marjin.
Wesley Shu mengutip Michael Porter yang juga menegaskan beberapa aspek meningkatkan competitive advantage ini dalam kacamata ekonomi mikro. Esensi dari pola pikir ini bisa dipelajari untuk peningkatan produktivitas kedelai kita. Silakan klik slide di bawah ini; geser kursor ke kanan sambil membayangkan bagaimana penerapan produktivitas kedelai berkelanjutan di tahun-tahun mendatang…