RSS

Arsip Harian: Juli 18, 2008

Di Negeri Penjajah: Eksotisme Penelusuran Sejarah


Malam ini saya diajak menelusuri lorong waktu yang eksotis. Malam ini saya belajar banyak dari JJ Rizal, Budiman Sujatmiko, dan Harry Poeze. Mulai tercerahkan tentang cara bertutur setiap orang merangkaikan pemikiran, hingga takjub cara seorang Belanda menulis selama 15 tahun sebuah buku tentang Indonesia yang baru hari ini terbit!

Diskusi malam ini di Erasmus Huis (atau rumah Erasmus, seorang humanis dan teolog di abad ke-15 di Belanda) adalah proses pencerahan yang diselenggarakan dalam rangka peluncuran buku terbaru Harry Poeze “Di Negeri Penjajah” setelah “Verguisd en Vergeten” (Tan Malaka Dihujat dan Dilupakan). Kali ini Poeze menulis tentang orang Indonesia di Belanda era 1600 hingga 1950 (jadi Daniel Sahuleka dan kawan saya Mary Osmond yang lulusan Belanda kemarin jangan harap masuk di monograf ini).

Dari diskusi ini, yang menarik pertama-tama adalah “nasionalisme” yang dinyatakan Budiman Sujatmiko “ada sebagai produk hasil kolonialisme”. Yang menarik kedua, soal Kartini yang dikonstruksi oleh Belanda “sebagai pahlawan”. Saat detail diskusi berisi “kumpulan resep Kartini yang kebarat-baratan” serta-merta hal ini dibantah oleh peserta diskusi perempuan yang berdialek Chincha Lawrah “makan masakan Jepang bukan berarti saya orang Jepang”. Loh kok cetek amat?

Saya kemudian takjub melihat, sama seperti halnya peserta diskusi yang lain, foto-foto orang Indonesia di Belanda jaman dahulu. Tak perlu membeli buku seharga Rp 150 ribu ini, saya menikmati foto-foto presentasi Poeze di layar. Ada orang Indonesia yang yang bersekolah di sana berdandan perlente (istilah Poeze: necis). Bung Hatta adalah sosok yang “ditabrakkan” dengan Notosoeroto (sosok lain yang justru lebih banyak porsinya di dalam buku ini) yang tak ingin Indonesia melepaskan diri dari kolonialisme Belanda “sampai Indonesia siap”.

Seperti oasis di tengah kekeringan buku yang mampu mengupas Indonesia secara mendetail, buku ini seakan memberikan setetes kesegaran. Pertanyaan pertama memang “mengapa kita tak mampu membuat buku sedetail dan seakurat ini”? Pertanyaan lain yang menggelitik adalah “mengapa kita selalu terbuai dengan sejarah tanpa tahu harus berbuat apa untuk masa depan”? Tapi yang paling menggelitik sebenarnya datang dari anekdot warung kopi yang sering saya dengar “mengapa kalau dijajah Inggris, negaranya bisa maju”?

Kalau mau melihat tata hubungan kita dengan Belanda dengan lebih arif, kita juga bisa maju. Kalau kita mau dan melihat penjajahan sebagai satu anugerah, dan melihat bahwa nasionalisme itu hanya fondasi yang dibangun di masa lalu untuk selamanya. Dengan bergandengan tangan bersama pemerintah dan rakyat Belanda, mungkin saja Indonesia  kemudian menjadi bagian dari sebuah rantai konsepsi bernama Uni Eropa. Selanjutnya, mungkin siaran bola Liga Inggris akan dibagi dua rata dengan Malaysia ya?

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada Juli 18, 2008 inci public policy