RSS

Tiga Rahasia Pasar Tradisional

20 Des

Setiap pagi saya naik sepeda menuju pasar tradisional, yang jaraknya lumayan jauh. Sengaja saya pilih pasar ini dengan dua alasan, pertama saya bisa berolahraga, dan kedua pasar ini “seperti” Passer Baroe (kiosnya berada di sepanjang jalan, tidak masuk ke dalam los-los sehingga saya hanya duduk di atas sepeda untuk bertransaksi). Anak saya selalu bertanya saat saya tiba di rumah, “Ibu dari pasar bau, ya?”

Alasan saya sebenarnya ada tiga. Dengan uang yang sama, saya mendapatkan lebih banyak jika berbelanja di pasar tradisional. Bisa saja saya tinggal duduk di rumah menunggu Bang Hasan, tukang sayur gerobak lewat setiap pukul 7.30 pagi. Saya menyukai tawar-menawar di pasar tradisional, walau hanya sekadar limaratus rupiah.

Kebiasaan ini saya lakukan mulai Idul Fitri tempo hari, saat ditinggal pulang “asisten rumah tangga”. Saya mulai menyukai kegiatan rutin ini, karena secara nyata saya tahu bagaimana harga bawang bergerak naik, daging sapi dan ayam bergerak turun lalu naik lagi. “Seribu cabe merah,’Yu” akan berbeda jumlah cabenya jika kita membeli di tempat langganan. Ada rasa “trust” di antara pembeli dan pelanggan yang terbangun baik.

Hari ini saya banyak men-download tulisan jurnal di luar negeri dengan kata kunci “traditional market”. Saya mampir di http://www.traditionalmarket.co.uk. dengan konsep pasar tradisional yang berbeda dengan pasar tradisional di Indonesia. Tapi tiga rahasia mereka adalah: kualitas, suasana dan profesionalisme. Menarik…

Kualitas: tentu pembeli menginginkan ikan yang masih segar (lihat insang masih berwarna cerah atau tidak) atau tempe yang sempurna (seluruh pori-pori terbalur sebagai hasil fermentasi yang baik).

Suasana: pasar tradisional yang saya datangi di musim hujan begini menjadi kubangan lumpur yang membuat saya yang bersepeda diuntungkan (tidak sering-sering menjejakkan kaki ke tanah becek). Sungguh suasana becek bukan halangan, karena dengan penjual “serba-ada” langganan, saya selalu disapa “Tuku opo, ‘Yang? Tempe’ne apik…” Terkadang gelak tawa terdengar di kios tukang kelapa di sela-sela lamunan nenek penjual ikan asin.

Profesionalisme: pedagang ikan langganan mengerti bahwa saya tak suka membersihkan sisik ikan, jadi otomatis dibersihkan. Penjual tahu juga selalu memberi lebih jika saya membeli lima ribu rupiah. Saya juga tidak akan diberikan sayuran yang layu oleh ‘Yu Pon langganan saya.

Intinya adalah ada kenikmatan berbelanja di pasar tradisional juga. Saya bisa mengetahui harga atau kuantitas di kios ini lebih menguntungkan dibandingkan di kios ujung sebelah sana. Saya juga suka dengan kualitas tahu di dekat tukang ayam langganan, sehingga tak ingin pindah ke tukang tahu lain. Inilah konsep-konsep dasar ekonomi yang saya pelajari di pasar tradisional. Sekarang adalah masalah waktu dan itikad pemerintah daerah untuk meremajakan pasar tradisional tanpa harus mengubah nilai dari tiga rahasia pasar tradisional.

 
10 Komentar

Ditulis oleh pada Desember 20, 2007 inci kualitas, pasar tradisional, profesionalisme, suasana

 

10 responses to “Tiga Rahasia Pasar Tradisional

  1. kank-di

    Agustus 27, 2008 at 8:49 am

    wah-wah emang enak belanja di pasar tradisional,,,,, qta bisa nawar… tapi sayang g’ da perhatian khusus dari pemda, tentang masa depan pasar n kelangsungan hidup

     
  2. ika gumyakz

    November 26, 2008 at 8:48 am

    menarik sekali ketika mmbicarakan “pasar tradisional”, yang terkesan sebagai “pasar’e wong ndeso”. ah..ga juga toh banyak juga orang-orang elit yang justru memanfaatkan kemurahannya. tiga rahasia tersebut terbangun dari interaksi antara penjual dan pembeli..bahkan saking lama jadi langganan..ketika penjual tersebut punya hajad menikahkan anaknya, kami mendapat undangan..sisi lain pasar tradisional yang akan didpatkan di supermarket..

     
  3. ika gumyakz

    November 26, 2008 at 7:41 pm

    ralat…kalimat terakhir… sisi lain pasar tradisional yang tak kan didapatkan di supermarket

     
  4. Amandus Ronald

    Mei 2, 2009 at 8:26 pm

    tetap biar bagaimana pun suatu kebijakan, kalau pembeli sudah tidak ada yang peduli pasar tradisional tetap terancam mati suri

     
  5. Usqa

    Juni 18, 2009 at 11:21 am

    seharusnya hal-hal yang diungkapkan oleh mbak mila ini seharusnya sudah diketahui oleh para elit di negeri ini, tapi kenapa sampai saat ini kita lihat, kebijakan-kebijakan yang dibuat malah semakin membuat kondisi pasar tradisional seperti “hidup segan mati tak mau”. klo kita lihat saat ini, dlm masa kampanye pilpres ini para capres dan cawapres yang bersaing seperti menggunakan pasar tradisional sebagai alat politis mereka. mereka menyampaikan berbagai macam janji untuk memajukan dan mengelola pasar tradisional, harapan kita janji ini tidak sekedar janji, semoga jika terpilih nanti janji ini akan direalisasikan. sehingga pasar tradisional dengan segala keunikannya itu bisa eksis dan bertahan.

     
  6. Mila

    Juni 19, 2009 at 8:38 pm

    Saudara kank-di, ka gumyakz, Amandus Ronald, Usqa,

    Bedakan saat merayu calon pacar dan saat sudah menjadi pacar… kompleksitasnya terkesan berbeda bukan? Kampanye di pasar tradisional itu adalah cara merayu. Kenyataannya para pemimpin (pusat atau daerah) tak bisa menyelesaikan dengan cepat karena birokrasi di bawahnya yang tak bisa menyelesaikan dengan cepat. Alasannya mungkin masalah kemampuan dan kemauan pemerintah tak sama antar-daerah, dan mungkin ada yang melihat pasar tradisional ibaratnya “borok” yang harus diganti mal. Alokasi anggaran lebih baik untuk beli lampu atau pot bunga gantung seperti yang ada di halte-halte bus di Jakarta!

    Pasar tradisional tak mati, hanya berevolusi menjadi lebih baik (lebih bersih dan nyaman tanpa mahal), harus berubah kalau ingin bersaing dengan mal. Keduanya memang tidak bersaing langsung, bahkan pasar tradisional bisa menjadi komplementer dari mal. Setiap pasar ada pembelinya, selama ada jarak kemakmuran dan kemampuan membeli yang jauh dari setiap anggota masyarakat di satu daerah.

    Bagaimana kondisi pasar tradisional di tempat Anda hari ini? Adakah perubahan (lebih nyaman, lebih bersih, dst) sejak 10 tahun terakhir?

     
  7. daffawwaz

    September 11, 2009 at 11:55 am

    Saya juga penyuka pasar tradisional. Mayestik dengan jajanan yang berlimpah dan pasar inpres kebayoran baru dengan sayuran segarnya di malam hari menjadi tempat favorit saya.

     
  8. Mila

    September 12, 2009 at 8:57 pm

    Sama, Ibunya Daffa… saya juga senang mencium bau ikan dan sayur segar sebelum dimasak. Suatu waktu mungkin saya akan mampir ke Pasar Inpres Kebayoran Baru yang kebetulan agak jauh dari rumah saya. Salam kenal.

     
  9. ghadafi

    Oktober 24, 2010 at 7:28 am

    kami mewakili dari pemerintah, sdh 3 tahun ini scara bertahap sedang melakukan dan terus berusaha utk memajukan pasar desa.
    1. kami mendata jumlah psdr desa selindo
    2. kami berikan sosialisasi permendagri 42 tahun 2007 ttg pengelolaan psr desa.intinya ttg mendorong pem kab utk menyerahkn wewenang pengelolaan pasar kpd pemdes.shingga bisa memajikan perekonomian masy desa.
    3. memberikan pembekalan kpd kades,bpd dan pengelola pasar utk manajerial pengelolaan pasar desa yg baik;dari administrasi keuangan,pasar,membuat perdes dll
    4. kami memberikan bantuan stimulus,tugas pembantuan ke pasar dsa langsung ke desa.
    buka website kami di uempmd.info/pasardesa

     
    • Mila

      Oktober 25, 2010 at 2:27 pm

      Sukses ya Pak! Situsnya bagus! http://www.uempmd.info/pasardesa/ cuma salah ejaan sedikit (CONTAK PERSON <— bisakah diganti HUBUNGI KAMI, karena kalau bahasa Inggrisnya "Contact Person"). Semoga situs Bapak makin bermanfaat.

       

Tinggalkan komentar