Pagi ini saya hadir ke peluncuran buku Mas Dibyo dkk “Kontra Kebebasan Pers – Studi Atas Berbagai RUU” di JMC, Kebon Sirih. Menarik mendengarkan Pak Daniel Dhakidae di antara tokoh lain (Marzuki Darusman, Saut Hutabarat, dan Romo Magnis yang telat hadir); sayangnya hadirin akhirnya terjebak dengan masalah liputan Pak Harto sejak sakit hingga meninggal. Apa pasal?
Pak Daniel mengkoreksi sub-judul yang ada kata “totalitarianisme”, dan mengusulkan diganti dengan “neo-fasisme” sebuah bentuk lebih banyak dipicu oleh kaum industrialis. Dari sinilah bergulir “peran” Pak Harto dan Orde Baru yang “cenderung totaliter”, demikian papar Mas Dibyo.
Saya sepakat dengan Pak Daniel, tapi Mas Dibyo juga tak sepenuhnya salah. Saya malah mempertanyakan kenapa diskusi ini “larinya” ke isu Pak Harto lagi? Apakah tidak lebih baik diarahkan lebih ke masalah demokrasi untuk kesejahteraan masyarakat (public welfare?) atau negara (state welfare?).
Saya mencoba mencoret-coret sedikit di buku kecil, sambil membayangkan diskusi-diskusi dulu dengan “the one and only thing matters is democracy” guy, Ade Armando (yeah you!). Hari ini terjadi pembulatan pikiran dan paham saya, dan saya menggambar pola demokrasi di bawah ini. Orang tetap perlu preskripsi atas kejadian-kejadian yang dibuat manusia. Kalau tak ada, nanti Gunung Kawi bisa penuh seperti Ancol kala libur panjang.
:))))
anggara
Februari 29, 2008 at 12:18 am
terkadang ada beberapa dimensi yang harus dilihat sebelum menjatuhkan vonis apakah sebuah RUU dan/atau UU betul-betul kontra kebebasan pers.
Karena terkadang masalah yang terkandung dalam RUU dan/atau UU bukanlah masalah isi atau content akan tetapi masalah penegakkan hukum yang seringkali keliru dan akibatnya sangat besar mengancam kemerdekaan pers