Tiga tetes air rahmat di air PDAM, air bisa bebas bakteri langsung minum? Soal air ini, Detikcom mengutip pernyataan resmi Direktur Penyehatan Lingkungan dalam jumpa pers di Hotel Shangri-La.
Berita tentang air rahmat (Air RahMat) ini ditulis oleh Rafiqa Qurrata dan di-upload Detikcom pukul 22.17 hari ini. Detikcom membuat sebuah berita yang MENYESATKAN. Jika memang ada kebiasaan bahwa wartawan yang ditempatkan di akhir pekan adalah wartawan rookie, harus dipertanyakan apakah beritanya juga imparsial. Saya menyesalkan sebuah penulisan yang hanya mementingkan judul heboh dan tanpa mengindahkan kode etik wartawan secara utuh.
Bayangkan sebuah jumpa pers Depkes, oleh Dr Wan Alkadri, Direktur Penyehatan Lingkungan di Hotel Shangri-La Jakarta (mengapa tidak di kantor resmi, dan mengapa akhir pekan?) diplintir sebagai berita yang “menjual produk” yang telah terdaftar di Depkes dan telah mendapatkan sertifikat halal MUI. Tidakkah sebuah media berita online seperti Detikcom mampu meng-google kata kunci “air rahmat” dan “wan alkadri” untuk mencari hubungannya? Perkenankan saya cari jembatannya: USAID sebagai donor dan John Hopkins sebagai peneliti.
1. Rafiqa teledor dengan angle berita; mengapa mengaitkannya dengan “lebih menghemat BBM” dan memberi informasi sepenggal-sepenggal. Mengapa tidak disebutkan bahwa air rahmat ini adalah produk yang diteliti, didistribusikan dan dipasarkan oleh John Hopkins, sebuah institusi penelitian resmi Amerika Serikat yang memiliki kantor di Jakarta? Mengapa tidak digali lebih lanjut hasil riset John Hopkins? Bisa juga dilengkapi kasus sukses penurunan diare di daerah-daerah yang sudah memanfaatkan air ini (jika ada).
2. USAID yang mendukung penyebaran air rahmat (baca di sini untuk berita lengkap pemerintah Amerika Serikat “menolong” program air bersih Indonesia) bekerja sama dengan Depkes untuk “mengentaskan” masalah air tidak bersih di negeri ini untuk menghindari diare. Masalah sesungguhnya berada di hulu (masyarakat Indonesia yang belum memperhatikan kesehatan lingkungan secara utuh). Kalau mau tarik ke hulu, mungkin terlalu lama (baca: memakan uang donor USAID lebih banyak) untuk mendidik dan melatih tuntas soal kebersihan 200 juta orang. Akan lebih mahal lagi membangun infrastruktur daur-ulang air seperti yang dimiliki Singapura untuk melepaskan ketergantungan air bersihnya dari Malaysia.
3. Memberi nama “rahmat” adalah sebuah trik yang memanfaatkan agama. Satu usaha yang tidak simpatik, seakan orang Indonesia semua berpikir tahayul untuk konsep sanitasi. Tiga tetes air, voila! semua sehat. Padahal Islam juga mengajarkan kebersihan yang lebih konsepsional; salah satu bentuknya adalah berwudhu atau langsung membersihkan diri jika terkena najis.
4. Logika, membunuh kuman di dalam air, dan airnya kita minum, akan berapa banyak substansi pembunuh kuman masuk ke perut masyarakat yang percaya tahayul? Selama ini yang saya tahu kalau ingin membunuh kuman saya oleskan, teteskan atau kumur Betadine, tidak dengan meminum Betadine dan kumannya sekalian. Berapa banyak informasi lain yang belum diketahui masyarakat. Mengerikan jika pemberian nama “Air RahMat” ini adalah cara menjual produk yang tidak jelas apa dampak jangka panjang untuk rakyat Indonesia.
Janganlah menempatkan sebuah berita layaknya iklan komersial. Lama-lama Detikcom kok menjadi media infotainmen kacangan ya?
isnan
Februari 10, 2009 at 9:05 am
Sebuah trik untuk mendapat simpati dari masyarakat lokal